Misalnya, ada nasabah yang membeli produk unit link dengan memasukkan dana Rp 500 juta, jangka waktu 1 tahun dan diiming-imingi hasil investasi sebesar 6 persen.
Artinya, satu tahun kemudian, si nasabah akan mendapat uang Rp 530 juta, yakni pokok plus hasil investasi. Agar tidak persis sama dengan deposito, tetap dibuatkan polis asuransinya.
Jadi, misalnya si nasabah meninggal dunia selama periode polis, akan mendapat klaim sebesar yang tercantum pada polis.Â
Tapi, rata-rata nasabah yang memang berniat untuk investasi murni, tidak begitu menghiraukan polis. Artinya, mereka tidak membaca dengan teliti apa saja konsekuensi kepemilikan unit link tersebut.
Masalahnya, ketika jatuh tempo, perusahaan asuransi ada yang tidak mampu mengembalikan uang nasabah karena krisis likuiditas.
Nah, ke depan, ada baiknya kalau perusahaan  asuransi kembali ke khittah, dengan tidak mencampurkan produk asuransi dan investasi.
Polanya seperti yang diterapkan perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian. Misalnya, ada nasabah yang mengasuransikan rumahnya untuk jenis risiko kebakaran atau mobilnya untuk risiko kecelakaan.
Jika selama periode perjanjian, rumah tersebut tidak terbakar atau mobilnya tidak mengalami kecelakaan, ya, uang premi yang dibayar nasabah tidak akan kembali.
Tapi, seandainya terjadi kerugian atau kecelakaan, nasabah akan dapat klaim sesuai yang dicantumkan polis, yang tentu jauh lebih besar dari premi yang dibayar nasabah.
Pola asuransi umum tersebut, bila dikonversi ke asuransi jiwa, maka bila nasabah meninggal dunia, ahli waris yang tercantum di polis asuransi akan mendapat klaim.
Jadi, fungsi asuransi pada dasarnya untuk memproteksi atau mengalihkan risiko, bukan sebagai alat investasi seperti produk perbankan dan pasar modal.