Saya pernah mencoba menutup kepala dengan koran (saya punya kebiasaan membaca koran Kompas di atas KRL), tapi korannya terbang jauh karena saking kencangnya angin.
Dan, ini pemandangan yang membuat saya merasa ngeri-ngeri sedap. Sering saya menyaksikan para penumpang yang berjubel di atap KRL dan yang bergelantungan di pintu kereta atau di pembatas antar gerbong.
Bukannya tidak sedikit penumpang yang tewas karena tindakan "akrobatik"-nya itu. Ada yang terjatuh, ada pula yang tersengat kabel listrik.
Tapi, tetap saja sebagian penumpang lebih suka duduk di atas atap. Ironisnya, para atapers (sebutan bagi yang duduk di atap kereta) merasa keren bisa seperti itu.
Mungkin mereka merasa seperti bintang film Hollywood yang lagi beraksi di atap kereta seperti yang sering terlihat pada adegan film action.
Jelaslah, waktu itu para petugas KRL tidak berhasil menertibkan tingkah laku para penumpang. Apalagi, mereka yang naik KRL gratis masih banyak, sehingga tak heran bila manajemen KRL menderita kerugian.
Di atas KRL, saya selalu "dihibur" oleh pengamen perorangan atau berkelompok seperti grup band. Mereka saling adu suara dengan pedagang asongan yang menjajakan berbagai barang.
Sementara itu, diam-diam komplotan pencopet mencari mangsa, lalu terdengar teriakan penumpang yang merasa kecopetan.
Nah, jika saya mengenang KRL zaman "jahiliyah" itu, terasa sekali bahwa sekarang kemajuan pelayanan KRL sudah meningkat luar biasa.
Uni (kakak perempuan) saya, kebetulan baru-baru ini datang dari Payakumbuh, Sumbar. Ia ingin naik kereta dan diajak istri saya naik KRL dari Tebet ke Tanah Abang.