Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pejabat "PJKA": Bekerja di Nusantara, Berakhir Pekan di Jakarta

22 Januari 2022   06:30 Diperbarui: 22 Januari 2022   07:12 1796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika seseorang berkata, "sekarang saya bekerja di Nusantara," apa yang terbayang di benak Anda? Bisa jadi Anda akan berpikir, bukankah nusantara itu seluas Indonesia, sehingga Anda akan bertanya lagi di kota mana orang tersebut bekerja.

Tapi, jika kepindahan ibu kota RI dari Jakarta ke kota baru yang dinamakan Nusantara telah terlaksana, tentu orang lain segera memahami bahwa Nusantara itu adalah nama sebuah kota.

Jadi, saat mengobrol dengan orang lain atau menonton siaran berita, kita perlu hati-hati begitu mendengar "nusantara". Begitu juga saat membaca di media massa atau media sosial.

Lihat dulu konteksnya untuk menentukan apakah yang dimaksud nusantara itu adalah ibu kota RI, negara kepulauan Indonesia, atau bahkan kawasan Asia Tenggara. 

Tapi, kerancuan bisa saja muncul. Misalnya, terhadap kalimat "mari berkeliling nusantara", ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, nusantara mana yang dimaksud.

Namun, untuk istilah "Wawasan Nusantara", tentu sudah jelas konteksnya yakni wawasan yang mencakup semua wilayah NKRI, baik darat, laut, dan udara, serta mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.

Sedangkan kalau berbicara dalam konteks persahabatan antar negara-negara rumpun Melayu atau dalam kerangka ASEAN, nusantara bisa berarti Indonesia-Malaysia-Singapura-Brunei, atau bisa juga Asia Tenggara.

Di Malaysia sendiri, istilah nusantara lazim dipakai untuk menyebutkan Kepulauan Melayu. Mungkin hal ini juga berlaku di Singapura dan Brunei.

Baik, artikel ini tidak lagi mempermasalahkan istilah nusantara, meskipun sebagai nama ibu kota negara masih menimbulkan polemik. 

Apakah Jakarta akan bebas dari kemacetan setelah ibu kota pindah? Mungkin tidak. Memang, nama Jakarta akan berubah dari DKI Jakarta kemungkinan menjadi DKJ (Daerah Khusus Jakarta, tanpa embel-embel ibu kota).

Tapi, hanya sebagai ibu kota pemerintahan yang hilang dari Jakarta. Sedangkan "ibu kota" bisnis, jalur ekspor impor, hiburan, olahraga, dan berbagai aktivitas lainnya, diperkirakan akan tetap dipegang Jakarta.

Bahwa Presiden, Wapres dan semua kementerian akan "bedol desa", itu sudah pasti. Namun, kantor pusat dari berbagai perusahaan di sepanjang jalan protokol Jakarta, diduga belum akan buru-buru boyongan, bahkan mungkin tidak akan pindah.

Dengan demikian, fasilitas Jakarta masih tetap yang terbaik dan terlengkap. Karena itu, aparat negara yang bekerja di Nusantara diperkirakan akan menerapkan pola "PJKA" (Pulang Jumat Kembali Ahad).

Sekarang, PJKA lazim diterapkan pegawai yang dipindahkan ke luar Jakarta, tapi keluarganya tetap tinggal di Jakarta. 

Biasanya, alasan karena anak-anak sudah nyaman bersekolah di Jakarta, maka si ibu menemani anaknya. Lalu, si bapak yang bekerja di kota lain akan menerapkan pola PJKA.

Jika PJKA-nya dari atau ke kota-kota di Pulau Jawa yang bisa dijangkau dengan kereta api atau naik travel, tentu tidak terlalu menguras dompet.

Namun, jika dari atau ke kota-kota di luar Jawa yang harus naik pesawat, maka yang bisa PJKA sangat terbatas pada mereka yang bergaji besar. Artinya, kebanyakan berlaku hanya bagi kalangan pejabat.

Kota Nusantara jelas berada di luar Jawa dan hanya bisa dijangkau melalui pesawat jika waktu yang tersedia untuk Sabtu-Minggu. 

Jika Nusantara didukung oleh lengkapnya fasilitas perumahan, pendidikan, pusat perbelanjaan, fasilitas kesehatan, tempat hiburan, serta dukungan transportasi dalam kota yang bagus, bisa jadi pola PJKA akan berkurang.

Artinya, si aparat negara yang pindah dari Jakarta ke Nusantara akan memboyong keluarganya. Tentu seperti ini yang ideal.

Hanya saja, diperkirakan akan membutuhkan waktu yang relatif lama sampai semua fasilitas itu memadai. Padahal, begitu kantor-kantor selesai dibangun, mungkin para pegawai sudah mulai pindah ke ibu kota baru.

Seperti itulah yang terjadi ketika Maluku Utara memindahkan ibu kota provinsi dari Ternate ke Sofifi di daratan Halmahera.

Pengalaman Sofifi membuktikan bahwa gedung kantor lebih siap duluan menampung pegawai, sementara fasilitas kota masih belum tuntas.

Akibatnya, para pegawai Pemprov Maluku Utara bukan menerapkan PJKA, tapi PPPHS (pulang pergi pada hari yang sama). 

Kebetulan, dari Ternate ke Sofifi dan sebaliknya tersedia kapal cepat yang waktu keberangkatannya disesuaikan dengan jam kerja para pegawai.

Tapi, kembali ke Nusantara, dengan anggaran yang sangat besar, tentunya diharapkan berbagai fasilitas sebagaimana layaknya sebuah ibu kota negara, cepat terbangun. Sehingga, kisah PJKA bisa berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun