Nah, dalam rapat-rapat yang saya ikuti, bos saya lumayan sering berbahasa Jawa dan dijawab juga berbahasa Jawa oleh staf-staf yang orang Jawa pula.
Suatu kali, bos saya meminta saya mengambil kalkulator (ketika itu belum ada komputer), lalu memencet beberapa angka. Setelah itu si bos bilang "ping" dengan angka lain.
Saya yang tidak tahu arti ping, saya tambahkan saja kedua angka itu. Maka, tertawalah si bos dan teman-teman saya, karena ping itu ternyata artinya perkalian.
Dalam waktu beberapa bulan, saya sudah banyak mengetahui kosakata dalam bahasa Jawa. Untuk kalimat yang agak panjang, saya mengerti arti keseluruhannya, namun tidak semua kata per kata yang saya tahu terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, untuk mengobrol secara langsung dalam bahasa Jawa, sampai sekarang saya tidak berani, karena belum mengerti tentang penggunaan bahasa Jawa "tinggi" dan yang pasaran atau yang kasar.
Kata-kata dalam bahasa Sunda pun saya sudah banyak memahami karena teman-teman saya banyak yang orang Sunda. Pada dasarnya, saya senang saja mendengar orang-orang berbahasa daerah.
Itulah kehebatan bangsa Indonesia yang punya banyak sekali bahasa daerah, tapi menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menyatukan kita semua.
Kita harus memelihara bahasa daerah agar tidak punah, namun untuk ragam formal kita perlu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Jadi, menurut saya, berbahasa daerah saat rapat formal, sah-sah saja, sepanjang sebagai selingan. Mereka yang tidak mengerti, biasanya akan bertanya.
Justru, pengalaman saya dalam mengkuti rapat, penggunaan bahasa daerah sering bikin ggrrrrrr atau bikin lucu, sehingga mencegah rasa mengantuk peserta rapat.
Yang penting, ketika pimpinan membuka, menyimpulkan, dan menutup rapat, sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia, karena akan didokumentasikan dalan notulensi rapat.