Cuitan tersebut berbunyi seperti ini: "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan tidak perlu dibela," seperti dimuat cnnindonesia.com (17/1/2022).
Memang, seperti juga Edy Mulyadi, Ferdinand Huahaean telah meminta maaf kepada masyarakat yang tersinggung atas ciutannya.
Masalahnya, permintaan maaf tersebut tidak berarti kasusnya tidak akan diproses secara hukum. Masih panjang prosedur yang harus dilalui Edy dan Ferdinand hingga mendapatkan vonis dari hakin yang nanti akan menyidangkan perkaranya.
Cukup sudah kedua kasus di atas menjadi contoh bagi kita agar hati-hati dalam mengemukakan pendapat, baik melalui perkataan maupun tulisan.
Jangan sampai ada yang berpikiran bahwa untuk jadi ngetop perlu cara yang unik, antara lain dengan menyatakan hal yang bersifat tendensius dan menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat.
Untuk apa ngetop bila akhirnya berurusan dengan aparat penegak hukum dan bahkan bisa mendapatkan hukuman penjara.
Tak ada jalan lain, nasehat orang tua zaman dulu "mulutmu harimaumu" tetap relevan untuk kita pegang teguh, bahkan semakin terasa pentingnya.
Pikir dulu matang-matang sebelum melontarkan seseuatu. Berbicara secara spontan boleh-boleh saja, tapi untuk topik yang tidak ada muatan SARA.
Misalnya sedang membahas topik jenis makanan yang enak, membahas pertandingan sepak bola, film yang baru selesai ditonton, atau topik ringan lainnya, silakan saja berbicara secara spontan.
Bukan berarti kita tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah. Hanya saja, harus dilakukan secara hati-hati, dengan argumen yang logis dan dengan niat yang baik.
Jika dilakukan dengan gaya yang main hantam kromo, mencaci, menghina, dan terkesan mengandung unsur kebencian, nah inilah yang akan menjadi "harimau" yang akan menerkam diri sendiri.