Dari hasil referendum, ternyata mayoritas masyarakat Timor Timur memilih untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Setelah melalui masa transisi yang diorganisasi oleh PBB, Timor Timur secara resmi merdeka pada 20 Mei 2002 dan menggunakan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Kembali ke kisah Miro Baldo Bento, meski saat awal kemerdekaan Timor Leste, ia masih bermain di beberapa klub di Indonesia, Miro memilih menjadi warga negara Timor Leste.
Dengan demikian, statusnya di Indonesia berubah menjadi pemain asing. Timor Leste tidak melakukan naturalisasi terhadap Miro seperti naturalisasi di PSSI terhadap sejumlah pemain Belanda berdarah Indonesia.
Tapi, ketika itu memang semua warga Timor Leste di Indonesia (sebagian besar adalah mahasiswa yang kuliah di berbagai kota) diminta menetapkan pilihan, mau tetap ber-KTP Indonesia atau memilih menjadi WN Timor Leste.
Di awal karirnya, Miro cukup lama memperkuat klub Arseto Solo (1992-1998), kemudian pindah ke Persija Jakarta dan PSM Makassar. Saat di PSM, Miro mengantarkan klub yang dijuluki Juku Eja itu menjuarai Liga Indonesia periode 1999-20000.
Terakhir Miro bermain di PSIS pada 2010 dan setelah itu memutuskan untuk menggantung sepatu serta pulang ke Timor Leste.
Miro merintis karir sebagai pelatih sepak bola di kampung halamannya, dimulai dari jabatan asisten pelatih di klub FC Porto Taibesse. Sejak 2020 Miro sudah jadi pelatih kepala di Boavista Futebol Clube Timor Leste.
Ada satu nama lagi putra Timor Leste yang satu angkatan dengan Miro dan lama berkiprah di berbagai klub di Indonesia. Namun, tidak pernah memeperkuat timnas, yakni Joao Basco Cabral.
Sekarang ini, sepak bola Timor Leste secara umum lebih maju ketimbang di masa masih bergabung dengan Indonesia. Mungkin, sebagai sebuah negara, motivasi para pemian menjadi meningkatÂ
Bahkan, Timor Leste punya liga sendiri dan ada klub di sana yang mengontrak beberapa pemain asal Indonesia. Inilah bukti kemajuan sepak bola Timor Leste.