Saya hanya mengatakan agar si ibu tenang, tidak panik. Dengan sisa-sisa tenaga, si ibu itu sangat lega ketika berhasil berkumpul di halaman kantor yang memang diperuntukkan sebagai area evakuasi kalau ada apa-apa.
Kebetulan saya lama bertugas di Divisi Manajemen Risiko, dan sedikit banyak mengetahui apa saja prosedur yang harus dilakukan, agar bila terjadi gempa, risikonya termitigasi dengan baik.
Bahkan, untuk menguji prosedur tersebut efektif atau tidak, sekali setahun dilakukan simulasi, baik simulasi gempa bumi atau simulasi kebakaran.
Berapa lama semua penghuni gedung mencapai tempat evakuasi harus dihitung dengan teliti, setelah sebelumnya dibunyikan alarm tanda ada bencana.
Itupun mereka harus melewati jalur evakuasi yang sudah ada petunjuk arahnya. Lagipula, kepada semua divisi sudah dikirim buku saku berisi pedoman dalam keadaan darurat.
Bahwa bunyi alarm itu adalah simulasi, yang tahu hanya kami di Divisi Manajemen Risiko serta Direksi. Sedangkan karyawan lain, awalnya tidak tahu, dan tergesa-gesa mencari jalur evakuasi.
Tapi, kelihatannya saat masih di jalur evakuasi, sebagian ada yang menduga bahwa ini hanya simulasi, lalu memberi tahu yang lain agar santai saja.Â
Akhirnya, tujuan simulasi untuk melihat bagaimana kesiapan semua penghuni gedung jika tiba-tiba terjadi bencana, tidak tercapai.
Bahkan, tim kesehatan yang berjaga-jaga bila ada pekerja yang membutuhkan penanganan khusus, praktis hanya menganggur karena semuanya baik-baik saja.
Namun, biasalah, dalam laporan tertulis dari Divisi Manajemen Risiko ke Direksi tentang pelaksanaan simulasi, semua dinilai telah berjalan lancar.
Nah, ketika terjadi gempa sesungguhnya, ceritanya jadi berbeda dan apa yang dilakukan saat simulasi seperti tidak menjadi pelajaran.