Status masjid tersebut oleh pemerintah setempat sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, seperti juga sebuah rumah gadang yang berjarak 200 meter dari Masjid Gadang.
Rumah gadang dimaksud disebut "Rumah Gadang Tuangku Lareh Koto Nan Ampek". Dulunya dinamakan Istana Regen atau Rumah Gadang Sutan Chedoh berdasarkan biografi HC Israr yang antara lain menulis Payakumbuh ditaklukkan Belanda pada 1823.
Kemudian Belanda mengangkat Sutan Chedoh menjadi Regent di sana dan Sutan Chedoh mendirikan rumah gadang sebagai Istana Regen.
Berikutnya, setelah selesai pembangunan istana, barulah dibangun Masjid Gadang Balai Nan Duo yang merupakan masjid tertua yang masih digunakan di Payakumbuh.
Sayangnya saya tidak sempat singgah ke rumah gadang tersebut  dan informasi di atas saya dapatkan dari laman halonusa.com.
Baik, saya lanjutkan tentang masjid gadang yang arsitekturnya tentu sangat berbeda dengan masjid modern. Tapi, justru di situ daya tariknya, terutama bagi yang ingin melihat arsitektur masjid kuno.
Komplek masjid ini cukup luas, meskipun bangunan utama tempat salat hanya berukuran 400 m2. Bercorak rumah panggung seperti halnya rumah gadang (rumah tradisional Minang), namun atapnya yang berbeda.
Kalau rumah gadang corak atapnya bagonjong atau mirip tanduk kerbau, maka masjid gadang punya atap tiga lapis atau tumpang tiga. Atap paling atas dibuat meruncing.
Antara atap bagian atas dengan bagian tengah diberi dinding papan yang berhiaskan ukiran matahari, demikian juga antara atap tengah dan atap bawah.
Pintu masuk masjid terdiri dari beberapa anak tangga dan di depan anak tangga terdapat bangunan tempat wudhu dan kamar kecil.