Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Bedah Rumah yang Membuat Grup Alumni Jadi Pecah

7 Januari 2022   08:18 Diperbarui: 7 Januari 2022   08:23 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bedah rumah yang sudah selesai dibangun di Cilincing, Jakarta|Kompas.com/David Oliver Purba

"Bedah rumah" pada awalnya saya kenal sebagai acara reality show yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional sejak belasan tahun lalu.

Melalui acara tersebut, di layar kaca terlihat ada sebuah tim kerja yang membantu warga kurang mampu dengan memperbaiki rumahnya secara cepat agar layak huni. 

Tidak hanya warga yang dibantu merasa kaget, haru, dan tentu juga sangat bahagia, tapi pemirsa pun merasakan hal yang sama. Tak heran, bila acara "Bedah Rumah" itu cukup populer.

Akhirnya, acara serupa atau dengan sedikit modifikasi, ditemukan pula di dunia nyata (maksudnya bukan diproduksi untuk tontonan di layar kaca).

Contohnya, ada pemerintah daerah yang punya program bedah rumah, di mana warga di daerah tersebut bisa mengusulkan rumahnya yang tidak layak huni untuk dibedah atau direnovasi.

Pemerintah pusat pun melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyusun program rumah swadaya yang kurang lebih mirip dengan bedah rumah.

Tidak tanggung-tanggung, Kementerian PUPR diguyur anggaran untuk pembangunan rumah bagi masyarakat pada 2022 sebesar Rp 5,1 triliun.

Anggaran itu mencakup sejumlah program yakni rumah khusus, rumah susun, rumah swadaya, serta penyaluran bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) untuk rumah bersubsidi pemerintah (Kompas.com, 4/1/2022).

Seperti apa persyaratan agar warga kurang mampu bisa diikutsertakan program rumah swadaya, gampang dilacak dari media daring.

Tapi, yang ingin diangkat melalui tulisan ini lebih kepada betapa program bedah rumah sudah semakin luas, meskipun awalnya sekadar program televisi.

Selain pemerintah pusat dan daerah, ada pula inisiatif masyarakat biasa yang berniat untuk berbagi dengan memperbaiki rumah warga kurang mampu.

Contohnya, di sebuah kelompok ikatan alumni sekolah yang saya ikuti, ada beberapa orang yang aktif mencari informasi, siapa saja alumni sekolah tersebut yang tinggal di rumah yang kurang layak huni.

Kemudian, melalui grup media sosial akan dikumpulkan donasi dengan tujuan merenovasi rumah yang telah diidentifikasi sebelumnya.

Grup alumni tersebut sebelumnya terpecah-pecah sesuai dengan angkatan atau tahun masuk sekolah. Nah, program bedah rumah ini awalnya merupakan program angkatan 90-an atau yang sekarang usianya berada di kisaran 40-an tahun.

Setelah adanya reuni akbar dua tahun lalu, di bentuk grup media sosial untuk lintas angkatan, termasuk para sesepuh yang sekarang berusia di atas 60 tahun, bahkan ada yang di atas 70 tahun.

Di sinilah terjadi miskomunikasi, para sesepuh yang tampaknya belum mengetahui latar belakang program bedah rumah, tiba-tiba merasa "ditodong" ketika di grup percakapan telah beredar daftar nama-nama yang memberikan donasi.

Beredar pula foto-foto program bedah rumah yang sudah berjalan serta rencana bedah rumah di tahap berikutnya, dengan harapan donasi akan mengalir lebih banyak.

Kebanyakan yang telah memberikan donasi adalah dari angkatan muda yang memang sudah sejak sebelumnya memahami program bedah rumah.

Lalu, ada komentar dari angkatan muda yang bernada menyindir kenapa angkatan senior belum tergerak untuk menyumbang.

Beberapa senior merasa tersinggung dan berkomentar lumayan keras, menganggap alumni angkatan lebih muda hanya meminta sumbangan saja dan tidak memusyawarahkan terlebih dahulu rancangan programnya.

Para senior ini dengan terbuka mengakui bahwa program amal berupa bedah rumah merupakan hal yang positif. 

Hanya, soal tata krama saja yang dipermasalahkan, seharusnya sebelum meminta sumbangan, ada semacam pengantar yang menjelaskan ide awal program tersebut dan mohon izin angkatan senior agar diakomodasi di grup lintas angkatan.

Nah, saling komentar pedas antar angkatan tua dan muda berakhir dengan hengkangnya para penggiat program bedah rumah dari grup media sosial lintas angkatan. Boleh dikatakan bahwa grup ini jadi terpecah.

Kesimpulannya, program yang baik, bila melibatkan banyak pihak, perlu memakai pola komunikasi yang baik pula agar mendapat dukungan yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun