Saya bukan orang Jawa, tapi banyak kebiasaan teman-teman saya yang bersuku Jawa yang saya sukai, bahkan menurut saya pantas untuk diteladani.
Tapi, hal di atas berlaku secara umum, dalam arti tidak semua orang Jawa bersikap yang sama. Soalnya, mereka yang orang tuanya asal Jawa, namun lahir dan  besar di Jakarta, gayanya kebanyakan sudah berbeda.
Namun, bagi mereka yang lahir dan besar di Jawa Tengah atau Jawa Timur, lalu bekerja di Jakarta dan menjadi teman kerja saya yang lahir dan besar di Sumatera Barat, banyak yang masih memegang nilai-nilai ke-Jawa-annya.
Ya, sekali lagi saya sebutkan bahwa ini bersifat relatif dan bisa jadi saya keliru dalam menafsirkan. Memang, saya lebih banyak mengamati mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun, karena berteman atau sering berinteraksi dengan saya.
Sedangkan mereka yang terbilang remaja atau anak muda, mungkin lain ceritanya. Bukankah di era internet sekarang ini, mereka yang tinggal di desa pun sudah tertular gaya hidup anak muda di kota besar?
Salah satu kebiasaan itu yang saya angkat jadi topik tulisan ini adalah: "selalu mensyukuri apa yang terjadi, meskipun sedang tertimpa musibah"
Contohnya begini, suatu kali saya mendengar komentar teman saya yang orang Jawa ketika menonton berita kecelakaan yang disiarkan salah satu stasiun tekevisi.
"Untung hanya mobilnya yang hancur, pengemudinya hanya lecet sedikit saja", begitu kira-kira komentarnya. Kalaupun pengemudinya terluka parah, mungkin ada juga yang bilang "untung masih hidup".
Artinya, mereka selalu bisa melihat dari sisi positifnya, yang mencerminkan sikap sabar menghadapi musibah dan bahkan bersyukur karena masih selamat dari musibah yang lebih besar.
Tapi, falsafah selalu ada untung tersebut, tak urung ada juga yang mengkritisi, karena dinilai terlalu nrimo, bahkan terkesan pasrah.
Memang, ada juga yang bilang orang Jawa lebih suka mengalah daripada berkompetisi dan membiarkan hidup seperti air mengalir.