Mungkin sudah banyak yang tahu, bahwa Presiden Joko Widodo sangat menyukai produk lokal, misalnya untuk produk sepatu dan jaket.
Harian Kompas (18/12/2021) menuliskan bahwa salah satu produsen sepatu lokal yang produknya dibeli Presiden Jokowi adalah Nah Project yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu produk Nah Project dipakai Presiden saat menjajal Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat, pada November 2021 lalu.
Tentu saja, setelah foto Jokowi memakai produk anak bangsa itu diunggah di akun Instagram-nya, dampaknya luar biasa. Nah Project dibanjiri pesanan.
Tapi, bukan soal produk yang akan dibahas di sini. Konsep Nah Project yang memasang strategi transparansi harga dalam rangka membangun kepercayaan konsumen, cukup menarik untuk dikupas.
Konsep tersebut ditampilkan dalam situs web Nah Project sehingga bisa diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai contoh, ada produk yang dibanderol Rp 415.000, yang dirinci lagi Rp 129.597 berupa biaya material, Rp 86.397 biaya pengerjaan, Rp 21.820 biaya pengemasan dan Rp 177.186 untuk penelitian, pengembangan, dan laba.
Adapun tujuan konsep transparansi harga adalah untuk mengedukasi konsumen. Mereka berhak tahu mengapa harga produk kami bisa lebih murah dibandingkan brand global, kata Creative Director Nah Project, San Teresia Panglipurati.
Rasanya sangat jarang produsen lain yang berani mengungkapkan labanya untuk setiap produk seperti Nah Project.Â
Bahwa laba perusahaan secara keseluruhan memang gampang diakses publik, terutama untuk perusahaan yang sudah go public, yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).Â
Tapi, biasanya data laba untuk setiap item atau per satuan produk, relatif langka, kecuali orang tertentu yang bisa menganalisis dari laporan keuangan tahunan sebuah perusahaan.
Makanya, cara Nah Project atau mungkin juga ada perusahaan lain yang seperti itu, pantas diapresiasi. Konsumen tidak hanya perlu dilayani, tapi juga diedukasi.
Selama ini, banyak produsen atau pedagang yang kurang terbuka tentang struktur biaya dan cara penetapan harga jualnya.Â
Adakalanya sebuah produk dijual relatif mahal, tapi kemudian tiba-tiba didiskon besar-besaran dengan alasan cuci gudang.
Masalahnya, cuci gudang itu cukup sering, sehingga pelanggan mungkin kurang percaya, jangan-jangan mereka tertipu waktu membeli mahal.
Namun, karakter konsumen kita sebagian ada yang kurang logis. Mereka percaya bahwa barang mahal pasti bagus dan barang murah pasti jelek.
Selanjutnya, anggapan itu melebar lagi bahwa produk dari luar negeri pasti bagus dan produk dalam negeri pasti jelek.
Inilah yang antara lain masih menjadi penghalang bagi brand lokal yang ingin menyasar konsumen kelas menengah ke atas.
Padahal, anggapan itu belum tentu benar, oleh karena itu perlu edukasi dengan membuka informasi struktur biaya sebuah produk.
Nah, untung saja Presiden Jokowi terbilang gencar menggunakan produk lokal dan memposting di media sosial, sehingga diketahui masyarakat.
"Jokowi effect" ternyata tidak hanya berlaku dalam pemilu, tapi juga ngefek dengan menumbuhkan minat masyarakat membeli produk dalam negeri.
Hebatnya, beliau tidak berapi-api dalam berpidato, tapi langsung memberikan contoh nyata, sehingga menjadi teladan bagi pejabat lain dan juga bagi masyarakat.
Dengan begitu, kita optimis bahwa produk dalam negeri akan semakin dicari dan mampu menyaingi produk impor.
Nantinya, yang beruntung bukan hanya para produsen semata. Keuntungan itu sebagian akan disetor produsen ke negara sebagai pajak.
Selain itu, ada yang dikembalikan produsen kepada masyarakat dalam bentuk corporate social responsibility (CSR). Jika perusahan melakukan ekspansi, berpotensi menambah lapangan kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H