Tapi, aparat penerima hadiah atau oleh-oleh seharusnya sadar bahwa itu termasuk gratifikasi. Soalnya, ketentuan seperti itu sangat sering didengungkan di kantor-kantor pemerintah.
Ketika dulu saya sekolah di Sumatera Barat, tak ada budaya wali murid memberi hadiah kepada guru anak-anaknya pada saat menerima rapor.
Ketika kemudian saya berdomisili di Jakarta, berkeluarga, dan punya 3 orang anak, baru saya tahu, ternyata di Jakarta hal yang lazim kalau orang tua murid memberi hadiah pada guru anaknya.Â
Hadiah itu bisa diberikan secara pribadi atau hasil urunan sesama orang tua murid dan pemberiannya biasanya saat menerima rapor.
Nah, kalau soal oleh-oleh, di kantor tempat saya bekerja dulu, sebagai orang kantor pusat sebuah perusahaan milik negara, saya dan teman-teman sesekali dikirimi sesuatu oleh kantor wilayah atau kantor cabang.
Misalnya, Kantor Wilayah Padang mengirim satu kardus kripik balado. Atau, dikirimi wingko dari Semarang, bakpia dari Jogja, dan sebagainya.
Ketika membaca berita Presiden Jokowi dikirimi buah jeruk sebanyak 3 ton oleh warga Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, saya jadi teringat pengalaman saat mengunjungi Kantor Cabang Kabanjahe (ibu kota kabupaten Karo) sekitar tahun 2003.
Ketika itu saya bersama  3 orang teman, di hari kepulangan ke Jakarta, masing-masing kami diberi oleh-oleh sekeranjang jeruk.Â
Kalau di supermarket atau di pasar tradisional dijual jeruk Medan, maka itu kemungkinan besar jeruk dari Karo. Dan rasanya memang manis.
Kembali ke soal 3 ton jeruk untuk Jokowi, ternyata itu berkaitan dengan penyampaian aspirasi warga agar kondisi jalan yang rusak di daerahnya segera diperbaiki.
Penyampaian aspirasi dan pemberian jeruk itu dilakukan 6 orang perwakilan warga Liang Melas Datas, Karo, Sumatera Utara, di Istana Merdeka, Senin (6/12/2021) lalu.