Pemekaran wilayah bukanlah hal yang baru di negara kita. Sejak zaman Presiden Soekarno pun sudah ada. Sebagai contoh, pada tahun 1957 Provinsi Sumatera Tengah dipecah tiga menjadi Sumbar, Riau, dan Jambi.
Hanya saja, harus diakui di awal periode reformasi, pemekaran wilayah, terutama pembentukan kabupaten dan kota baru, cukup banyak terjadi.
Bahkan, saking banyaknya, banyak pengamat yang menilai sudah kebablasan. Akhirnya, pemerintah pusat melakukan moratorium atas usulan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Namun, seperti kita ketahui, baru-baru ini ada pengecualian untuk Provinsi Papua, di mana ada pemekaran dengan membentuk 3 DOB level provinsi.
Dengan demikian, jumlah provinsi di tanah air tidak lagi 34, melainkan 37. Itu pun kabarnya masih ada pemekaran di Provinsi Papua Barat.
Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut soal pembentukan DOB. Tapi, ada yang menarik soal penamaan daerah otonom yang sebagian di antaranya terkesan tumpang tindih.
Contohnya, Kota Malang dan Kabupaten Malang, meski sama-sama pakai nama Malang, jelas daerah otonom yang berbeda.Â
Makanya, jika seseorang menyebut Malang sebagai nama sebuah daerah, harus dipastikan Malang yang mana yang dimaksudkannya?
Barangkali agar tidak rancu, Pemerintah Kabupaten Malang pernah berinisiatif mengubah namanya menjadi Kabupaten Kepanjen, sesuai dengan kedudukan ibu kota Kabupaten Malang.
Memang, Bupati Malang tidak berkantor di Kota Malang (dan memang tidak boleh karena itu berada di bawah kekuasaan Wali Kota Malang), namun di kota Kepanjen.
Kota Kepanjen tersebut terletak di bagian selatan Kabupaten Malang (20 km dari kota Malang). Bagi penggemar klub Arema FC, pasti tahu bahwa markas Arema tersebut adalah Stadion Kanjuruhan yang terletak di Kepanjen.