Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Membiarkan Korupsi Kecil-kecilan Ibarat Memelihara Anak Macan

9 Desember 2021   07:29 Diperbarui: 9 Desember 2021   18:31 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia sesuai dengan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peringatan tersebut sudah dimulai sejak 2005.

Jelaslah, korupsi tidak saja jadi masalah besar di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain, terutama yang masih berstatus negara berkembang.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 lalu berada di peringkat ke-5 di Asia Tenggara dengan skor 37 dari skala 0-100. Semakin kecil skornya, semakin korup negara tersebut.

Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste, merupakan negara-negara Asia Tenggara yang berada di peringkat 1 sampai 4. Artinya, negara-negara tersebut lebih bersih dari Indonesia.

Dikalahkan Timor Leste, yang nota bene selama 24 tahun pernah menjadi provinsi ke-27 di Indonesia, tentu membuat kita malu diri.

Tapi, okelah, terlepas dari perbandingan dengan negara lain, yang penting adalah bagaimana menjadikan Indonesia semakin membaik pemberantasan korupsinya dari tahun ke tahun.

Masalahnya, tanpa mengurangi apresiasi kepada berbagai institusi penegak hukum yang telah berhasil menangkap banyak sekali koruptor, ada hal yang membuat kita agak pesimis.

Mungkin karena makin banyak koruptor yang tertangkap, sehingga ada kesan bagi koruptor itu sendiri penangkapan bukan hal yang menakutkan. Anggap saja lagi apes. 

Masyarakat pun seolah-olah menganggap biasa saja berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Mungkin karena saking seringnya, pejabat yang kena OTT silih berganti, semuanya bukan lagi berita yang hangat.

Belum lagi kalau kita bicara praktik korupsi yang masih belum terungkap, mungkin lebih banyak lagi yang pelakunya masih merasa aman-aman saja.

Gambaran tersebut seperti membenarkan pendapat yang telah dari dulu kita dengar, bahwa korupsi di negara kita sudah membudaya.

Dan itu terjadi di semua level pemerintahan, dari lingkup desa atau kelurahan hingga nasional, dari kelas teri hingga kelas kakap.

Pejabat yang punya kewenangan besar dan tugasnya berskala nasional, jika menyelewengkan kewenangannya itu, akan meraup jumlah yang besar, bisa hingga triliunan rupiah.

Sedangkan pejabat atau aparat yang kewenangannya kecil atau wilayah kerjanya kecil, maka jumlah yang dikorupsinya juga relatif kecil.

Katakanlah korupsi dana desa oleh oknum aparat desa yang beberapa tahun terakhir ini lagi marak. Bisa jadi jumlah yang dimainkan tidak sampai Rp 10 juta.

Pertanyaannya, apakah pelaku korupsi kecil-kecilan tersebut tidak perlu diperkarakan? Soalnya, jika diperkarakan ke pengadilan biayanya lebih besar ketimbang jumlah yang dikorup?

Pertanyaan di atas dipicu oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, bahwa kepala desa bisa mengembalikan uang yang dikorupsi kecil tanpa harus dipenjara lewat putusan pengadilan (cnnindonesia.com, 2/12/2021).

Alexander lebih lanjut mengatakan, kepala desa tersebut lebih tepat dipecat berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat setempat.

Masalahnya, jika dirupiahkan, angka kecil itu seberapa? Lalu, musyawarah desa apakah bisa objektif dalam mengambil keputusan?

Jelas, masalahnya tidak sesederhana itu. Kecil atau besar, namanya tetap korupsi dan mesti ditindak. Tinggal dipertimbangkan cara penindakannya yang praktis tapi tetap memenuhi prinsip keadilan.

Ingat, yang sedikit-sedikit itu lama-lama akan menjadi "bukit". Ibarat kata pepatah, jangan sampai kita "memelihara anak macan".

Satu desa korupsinya memang kecil. Tapi, coba hitung kalau ratusan desa, atau bahkan ribuan desa? Perlu diketahui di seluruh tanah air saat ini tercatat 83.381 desa/kelurahan yang tersebar di 34 provinsi.

Boleh juga kita menghitung di sebuah desa saja. Katakanlah tiap bulan terjadi korupsi kecil-kecilan. Tapi, coba hitung kalau itu dilakukan secara konsisten selama setahun, dua tahun, atau sepanjang periode kepemimpinan seorang kepala desa.

Besar kecil itu relatif. Dan korupsi tidak semata soal jumlah, tapi tentang sikap mental pelakunya yang bobrok, maunya menggerogoti yang bukan haknya. 

Perangi koruptor, jangan kasih kendor!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun