Berita tentang pertengkaran antara seorang wanita yang mengaku anak perwira tinggi TNI dengan anggota DPR Arteria Dahlan di terminal 2E Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, ramai diberitakan sejumlah media daring.
Seperti ditulis beritasatu.com (22/11/2021), Arteria Dahlan yang anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan dan wanita yang mengklaim sebagai anak jenderal bintang tiga itu sama-sama saling lapor ke Polresta Bandara Soekarno-Hatta.
Laporan itu terkait cekcok antara Arteria dan sang ibu dengan wanita tersebut di Bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (21/11/2021).
Video pertengkaran itu juga viral di media sosial dan terlihat emosi si wanita tidak terkontrol dan berkata dengan emosi tinggi ke orang yang jauh lebih tua (ibunya Arteria).
Sebelum mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, rupanya pertengkaran sudah dimulai di atas pesawat berkaitan dengan barang bawaan yang dianggap menghalangi.
Tulisan ini pada bagian berikutnya tidak lagi berkaitan langsung dengan kasus di atas, tapi lebih membahas secara umum tentang pertengkaran di ruang publik.
Yang namanya bertengkar pasti ada unsur emosi di dalamnya. Jika masih saling berjawab-jawaban dengan kata-kata yang tertata, belum disebut bertengkar.
Memang, mengendalikan emosi tersebut gampang-gampang sulit. Celakanya, emosi seseorang gampang tersulut hanya karena hal-hal kecil.Â
Jika hal kecil itu berkaitan dengan orang lain, tinggal bagaimana orang lain tersebut menyikapi lawannya yang sudah emosi duluan.
Ada dua pilihan, ikut-ikutan emosi sehingga muncul pertengkaran, atau biarkan lawan yang lagi emosi melepas semua kekesalannya, baru setelah itu menjawab secara baik-baik.
Masalahnya, jika dua pihak yang terlibat adalah orang yang sama-sama punya jabatan atau keluarga pejabat, biasanya merasa harga dirinya akan terusik.
Dalam kondisi seperti itu, besar kemungkinan tak ada yang mau mengalah karena masing-masing merasa benar.
Meskipun objek yang dipertengkarkan sama sekali tak berkaitan dengan jabatan atau kedudukan seseorang, arogansi bisa saja muncul dengan terucapnya kata-kata: "kamu tidak tahu siapa saya?" atau "kamu tak tahu siapa bapak saya?"
Harapannya, pihak lawan akan keder begitu tahu ia berhadapan dengan seseorang yang punya jabatan tinggi atau keluarga dari orang terpandang.
Namun, karena pihak lawan juga merasa bukan sembarang orang, biasanya tak kalah gertak dan balas menantang.
Begitulah, di negara kita yang namanya jabatan merupakan sesuatu banget, karena seseorang dihargai bukan karena prestasi atau kepribadiannya, tapi lebih pada status yang disandangnya.
Padahal, jabatan tak ada yang bisa disandang selamanya. Lambat atau cepat akan terlepas. Tapi, mungkin ada yang berpikiran untuk memanfaatkan jabatan mumpung masih bisa.
Ketika emosi tersalurkan dengan berapi-rapi, rasanya ada kepuasan tersendiri, seakan harga dirinya terselamatkan.
Namun, justru setelah bertengkar, biasanya mereka yang terlibat akan malu sendiri, terutama mereka yang terlanjur membawa-bawa jabatan atau membawa-bawa orang tua yang jadi pejabat.
Kalau kita kembali pada ajaran agama, disebutkan bahwa akhlak yang mulia harus menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan orang lain.Â
Emosi dan arogansi bukan cerminan akhlak mulia. Juga tidak sesuai dengan budaya kita yang penuh tata krama.
Tapi, soal budaya kita, ada semacam dualisme, karena selain tata krama, ternyata ada budaya lain yang kondusif bagi tumbuhnya arogansi jabatan.
Contohnya, masih adanya budaya feodal yang membuat orang-orang yang punya jabatan merasa wajar mendapat keistimewaan.
Pejabat terlanjur dianggap selalu dilayani oleh banyak orang di sekitarnya, padahal sejatinya pejabat adalah pelayan masyarakat.Â
Dan sebagian masyarakat pun seperti berlebihan dalam menghormati pejabat, misalnya dalam menyambut kedatangan seorang pejabat.
Akhir kata, kita berharap agar semakin banyak pejabat, termasuk keluarganya, yang mampu menampilkan akhlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H