Dalam menetapkan upah minimum di mana pun, masalahnya sama, yakni sulitnya mempertemukan kepentingan dua pihak yang sebetulnya harus saling bekerja sama dengan baik.
Sejak dulu bernama Upah Minimum Regional (UMR) dan sekarang bernama Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), begitulah yang terjadi.
Dua pihak dimaksud adalah pihak pengusaha dan pihak pekerja. Pengusaha adalah yang menjadi pemilik perusahaan yang mempekerjakan sejumlah tenaga kerja.
Pihak yang menjadi manajemen puncak sebuah perusahaan pun, meskipun bukan sebagai pemilik, tetap dianggap sebagai kelompok pengusaha dalam berhadapan dengan kelompok pekerja.
Tanpa pekerja, kegiatan produksi di suatu perusahaan tak akan berjalan, sehingga arti penting pekerja sudah jelas.
Masalahnya, karena jumlah pencari kerja yang banyak, maka posisi pengusaha lebih tinggi dari pekerja. Seolah-olah nasib pekerja tergantung pada belas kasihan pengusaha.
Agar kuat, kelompok pekerja membuat organisasi serikat pekerja. Sering akhirnya serikat pekerja melakukan aksi demo agar aspirasinya didengar.Â
Tapi, di Indonesia kelompok serikat pekerja ini ada banyak sekali. Masing-masing punya aspirasi dan bukan tidak mungkin ada yang bermuatan politik.
Sedangkan pengusaha tentu saja tidak perlu melakukan aksi demo tandingan. Mereka lebih gampang melakukan lobi-lobi ke pemerintah agar aspirasinya tersalurkan.
Berita terbaru, berdasarkan formulasi yang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengupahan yang sekarang berlaku, UMP 2022 hanya naik 1,09 persen.
Persentase di atas merupakan angka rata-rata nasional, seperti dikatakan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah (Merdeka.com, 17/11/2021).