Untuk menjawab pertanyaan itu, sangat penting untuk main buka-bukaan soal pembukuan perusahaan. Tentu, pembukuan dimaksud adalah pembukuan yang sesungguhnya dalam menggambarkan kondisi keuangan perusahaan.
Bukan pembukuan yang direkayasa atau ada bagian-bagian tertentu yang disembunyikan. Termasuk dalam hal ini, jika ada pemberian bonus untuk pejabat perusahaan, harus dijelaskan secara transparan.
Jika buka-bukaan tidak bisa dilakukan, mengingat posisi tawar pengusaha yang lebih tinggi, maka pekerja gampang curiga bahwa telah terjadi unsur eksploitasi oleh pengusaha terhadap pekerja.
Pekerja tidak berani beraksi terlalu jauh, karena takut di-PHK. Di luar sana, banyak orang yang belum mendapatkan pekerjaan, sebagai pengganti.
Atau, seiring dengan kemajuan teknologi, di zaman sekarang, para pekerja bisa saja diganti dengan mesin atau robot.
Namun, demi terciptanya kondisi yang harmonis di perusahaan, sangat diharapkan kesediaan pemilik atau manajemen perusahaan untuk buka-bukaan laporan keuangan.
Kalau memang gara-gara pandemi, kondisi perusahaan jadi berdarah-darah, ungkapkan apa adanya dan sama-sama mencari solusi dengan serikat pekerja
Jika efisiensi menjadi hal yang tak dapat ditawar lagi agar perusahaan bisa tetap eksis, pejabat perusahaan juga harus berani dipotong gaji dan bonusnya.
Perlu diketahui, sebetulnya ada semacam lingkaran setan, jika upah naik kecil sekali, secara makro akan berdampak negatif pada daya beli masyarakat, yang pada gilirannya tentu memukul pengusaha karena omzet perusahaannya tidak naik.
Artinya, bila perusahaan mampu, sebaiknya bersedia menaikkan upah pekerja di atas UMP 2022, karena akan berdampak positif pada laju konsumsi nasional.
Kemudian, sense of belonging pekerja perlu dipelihara terus menerus, bahwa perusahaan adalah harapannya untuk jangka panjang.