Ada tulisan yang menarik perhatian saya sewaktu membaca koran Kompas (Senin, 15/11/2021) pada halaman Ekonomi dan Bisnis.
Tulisan tersebut berjudul "Kembali ke Intermediasi" yang antara lain menyampaikan bahwa sudah saatnya perbankan nasional kembali ke fitrahnya dengan mengoptimalkan fungsi intermediasi.
Fungsi intermediasi perbankan maksudnya fungsi perantara. Ya, bank memang menjadi perantara antara masyarakat yang kelebihan uang dengan masyarakat yang kekurangan uang.
Warga yang kelebihan uang bisa menempatkan uangnya di bank dalam bentuk tabungan, giro, atau deposito. Sebagai imbalannya, bank akan memberikan bunga atau bagi hasil untuk bank syariah.
Sedangkan warga yang kekurangan uang, dengan syarat tertentu bisa meminjam dari bank. Untuk itu, bank akan mengenakan bunga atas pinjaman tersebut atau dikenakan biaya yang berlaku di bank syariah.
Bagi bank konvensional, selisih antara bunga yang dibayar peminjam ke bank dengan yang dibayarkan bank kepada penyimpan, akan menjadi keuntungan bank, setelah dipotong dengan biaya operasional bank.
Nah, dengan melihat fungsi intermediasi di atas, ternyata sejak negara kita terkena musibah pandemi, terjadi ketimpangan.
Bank tetap mengalami pertumbuhan dalam menerima simpanan masyarakat, namun agak seret dalam menyalurkan pinjaman kepada masyarakat.
Padahal, selama ini pendapatan terbesar bank berasal dari penerimaan bunga pinjaman. Tapi, itu bila kondisi lagi normal.
Adapun dalam kondisi pandemi, jelas terjadi ketidaknormalan. Buktinya, betapa banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK para pekerjanya.
Maka, bank tentu saja tidak mau ambil risiko jika masih memberikan kredit kepada dunia usaha. Takutnya, mau untung malah buntung gara-gara pengembalian kredit yang macet.
Akhirnya, bank memilih menggali pendapatan dari fee based income, yakni fee yang didapat dari nasabah yang melakukan berbagai transaksi.
Umpamanya, nasabah yang berbelanja suatu barang dan mentransfer uang ke rekening penjual yang kebetulan di bank yang berbeda, maka nasabah akan terkena biaya yang bagi bank menjadi fee.
Itulah makanya hampir semua bank berlomba-lomba memperbaiki performa teknologi informasinya, antara lain dengan menyediakan aplikasi yang membuat nasabah nyaman dalam bertransaksi.
Contoh fee based yang rutin diterima bank adalah biaya administrasi bulanan bagi para penabung yang dipotong secara otomatis dari saldo tabungan.
Itulah yang menyebabkan  tabungan nasabah yang bersaldo relatif rendah, lama-lama akan berkurang sendiri. Soalnya, bunga yang diterima nasabah lebih kecil dari potongan biaya administrasi bulanan.
Nah, yang dikhawatirkan, bank-bank kebablasan hanya mengembangkan fee based income, lalu melupakan fitrahnya untuk menggenjot penyaluran kredit.
Kita pantas salut dengan bank-bank yang canggih teknologinya, termasuk dengan adanya bank digital. Bank tersebut pasti mengalokasikan investasi yang besar untuk itu.
Tapi, jika bank yang canggih tersebut tidak mengoptimalkan perannya sebagai lembaga intermediasi, khususnya dalam penyaluran kredit, maka kontribusinya dalam membangun perekonomian nasional perlu dipertanyakan.
Perlu diketahui, penyaluran kredit perbankan tidak semata-mata demi keuntungan bank, tapi secara bersama-sama dengan bank lain akan menjadi "mesin" yang membuat roda perekonomian bisa bergulir lebih cepat.
Memang, secara teori, sangat kuat kaitan antara laju pertumbuhan kredit perbankan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Logis rasanya bila bank diimbau untuk kembali ke fitrahnya.
Apalagi sejak dua bulan terakhir ini, kasus yang berkaitan dengan pandemi Covid-19 sudah jauh menurun, sehingga masyarakat sudah kembali beraktivitas di luar rumah, meskipun tetap dengan mematuhi protokol kesehatan.
Degan demikian, tentu saja peluang ini ditangkap oleh dunia usaha dengan kembali berproduksi. Untuk itulah dibutuhkan pendanaan, termasuk dari kredit perbankan.
Bagi perusahaan kelas menengah ke atas, masih punya alternatif lain selain kredit bank, misalnya dengan menjual sebagian sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau menerbitkan surat utang (obligasi) yang dijual melalui BEI.
Tapi, untuk perusahaan kecil, yang paling diharapkannya adalah kemudahan mendapatkan kredit dari bank, baik dari sisi persyaratan administrasi, maupun dalam proses penilaian kelayakan pemberian kredit.
Jangan sampai para pedagang kecil akhirnya jatuh ke pelukan para penyalur pinjol ilegal (pinjaman online yang belum dapat izin Otoritas Jasa Keuangan).
Sekiranya bank kembali ke fitrahnya, sebetulnya merupakan kondisi yang saling menguntungkan. Pelaku usaha terbantu, bank juga terbantu dari penerimaan bunga dan perekonomian nasional secara makro juga terbantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H