Luar biasa, sekarang ini benar-benar banjir informasi berkat kemajuan teknologi, terutama sejak semakin mudahnya orang dari berbagi penjuru mengakses internet.
Di satu sisi, banjir informasi terkesan mengerikan. Anak-anak gampang terpapar konten bermuatan pornografi yang mendatangkan kecanduan.
Kemudian, informasi yang bersifat mengumbar kebencian telah menimbulkan pertentangan antar kelompok masyarakat.
Namun, di lain pihak, berbagai ilmu yang spesifik, yang dulu hanya didapat oleh mahasiswa atau akademisi di bidang tertentu, sekarang bisa dibaca siapa saja.
Ambil contoh untuk bidang psikologi. Semakin gampangnya memperoleh pengetahuan berbagai istilah tentang kesehatan mental, membuat seseorang gampang pula melakukan self-diagnosis atas kondisi yang dialaminya.
Maka, ada saja orang yang merasa dirinya sedang menderita depresi, menderita gangguan bipolar, atau terkena gangguan kepribadian borderline.
Hal tersebut diamati oleh seorang psikolog, Kristi Poerwandari, dalam tulisannya pada rubrik psikologi di koran Kompas, edisi Sabtu (6/11/2021) yang mengangkat topik tentang "Self-Diagnosis".
Melakukan diagnosa atas diri sendiri yang dilakukan bukan oleh ahlinya, berkemungkinan besar akan keliru. Akibatnya, bisa lebih banyak risikonya ketimbang keuntungannya.
Soalnya, ada kecenderungan ketika fokus pada diagnosis diri, seseorang akan memberikan perhatian pada hal-hal yang negatif.
Kemudian, hal negatif tersebut terlalu cepat disimpulkan sebagai gangguan. Padahal, sesekali mengalami kesedihan, sulit tidur, atau emosi yang tidak stabil, merupakan hal yang manusiawi.
Akhirnya, seseorang dengan gampang menyematkan label depresi, label bipolar, atau label lainnya kepada dirinya sendiri.
Padahal, kalau dikonsultasikan kepada ahlinya, dengan berbagai alat tes yang telah teruji secara ilmiah, bisa jadi hasilnya akan bertolak belakang.
Ada dua kemungkinan yang terjadi setelah label itu diyakini sebagai hal yang benar.
Pertama, label tersebut akan selalu menghantui pikiran seseorang. Disebut menghantui bila karena keyakinan punya gangguan mental tersebut, seseorang selalu merasa waswas.
Hal itu bisa semakin parah akibatnya, bila seseorang itu tak mau melibatkan diri dalam kegiatan yang produktif dan akhirnya malah jadi beban bagi keluarga dan lingkungannya.
Celakanya, bukan tidak mungkin mereka yang seperti itu akan betul-betul menderita gangguan mental yang parah hanya karena keyakinannya yang salah.
Bukankah kita sering membaca ungkapan "you are what you think". Maksudnya kurang lebih bisa diibaratkan dengan lokomotif dan gerbong kereta.
Dalam hal ini, pikiran layaknya sebuah lokomotif dan tindakan kita sebagai gerbongnya. Ke mana arah laju gerbongnya ditentukan oleh lokomotif.
Maka, bila seseorang selalu berpikir positif, tentu perbuatannya akan positif. Sebaliknya, mereka yang berpikiran negatif, hasil kerjanya pun akan mengecewakan.
Kedua, kebalikan dari kelompok pertama yang menghantui pikiran, bisa jadi ada pula yang setelah melakukan self-diagnosis, mereka akan cuek bebek.
Mereka bersikap apatis atau masa bodoh serta melakukan pembenaran, "kan aku memang mengalami gangguan".
Lalu, yang bersikap seperti itu secara sepihak akan menuntut orang lain untuk memahami dan menerima perilakunya, tanpa ia mencoba memahami kesulitan yang dialami orang lain.
Sama dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini juga akhirnya membebani orang lain.
Kesimpulannya, bila diagnosis diri diambil berdasarkan asumsi, seolah-olah mengetahui masalah kesehatan yang dialami, hanya berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri, akan berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Sebaiknya, bila merasa punya problem mental, boleh saja mencari referensi dari dunia maya, tapi jangan langsung menyimpulkan. Konsultasikan degan ahlinya, psikolog atau psikiater.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H