Padahal, kalau dikonsultasikan kepada ahlinya, dengan berbagai alat tes yang telah teruji secara ilmiah, bisa jadi hasilnya akan bertolak belakang.
Ada dua kemungkinan yang terjadi setelah label itu diyakini sebagai hal yang benar.
Pertama, label tersebut akan selalu menghantui pikiran seseorang. Disebut menghantui bila karena keyakinan punya gangguan mental tersebut, seseorang selalu merasa waswas.
Hal itu bisa semakin parah akibatnya, bila seseorang itu tak mau melibatkan diri dalam kegiatan yang produktif dan akhirnya malah jadi beban bagi keluarga dan lingkungannya.
Celakanya, bukan tidak mungkin mereka yang seperti itu akan betul-betul menderita gangguan mental yang parah hanya karena keyakinannya yang salah.
Bukankah kita sering membaca ungkapan "you are what you think". Maksudnya kurang lebih bisa diibaratkan dengan lokomotif dan gerbong kereta.
Dalam hal ini, pikiran layaknya sebuah lokomotif dan tindakan kita sebagai gerbongnya. Ke mana arah laju gerbongnya ditentukan oleh lokomotif.
Maka, bila seseorang selalu berpikir positif, tentu perbuatannya akan positif. Sebaliknya, mereka yang berpikiran negatif, hasil kerjanya pun akan mengecewakan.
Kedua, kebalikan dari kelompok pertama yang menghantui pikiran, bisa jadi ada pula yang setelah melakukan self-diagnosis, mereka akan cuek bebek.
Mereka bersikap apatis atau masa bodoh serta melakukan pembenaran, "kan aku memang mengalami gangguan".
Lalu, yang bersikap seperti itu secara sepihak akan menuntut orang lain untuk memahami dan menerima perilakunya, tanpa ia mencoba memahami kesulitan yang dialami orang lain.