Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Petani Milenial dan Sikap Pemerintah yang Terkesan Mendua

6 November 2021   17:37 Diperbarui: 6 November 2021   17:39 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani milenial|dok. cakrawalamedia.co.id

Indonesia adalah negara agraris karena sebagian besar penduduknya berdomisili di pedesaan dan bekerja di bidang pertanian.

Begitulah yang kita baca pada buku pelajaran sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah, pada zaman dulu, sampai dekade 1990-an.

Setelah itu, disadari atau tidak, sebutan sebagai negara agraris sedikit demi sedikit mulai tergerus, dengan semakin banyaknya para pemuda desa mencari pekerjaan di kota-kota.

Arus urbanisasi tak terelakkan lagi. Akibatnya, kawasan pinggiran kota yang dulu lahannya masih ditumbuhi aneka tanaman, sekarang sudah banyak dikonversi.

Ada yang dijadikan beberapa unit ruko, komplek perumahan, apartemen, mal, pabrik, kampus perguruan tinggi, dan sebagainya.

Di beberapa lokasi, bahkan dengan mengorbankan area yang sangat luas untuk dijadikan kawasan industri, lengkap dengan kemudahan persyaratan bagi para investor, termasuk investor asing.

Padahal, sebelumnya tanah tersebut merupakan tanah yang tergolong subur dan jadi salah satu sentra produksi padi atau hasil pertanian lainnya.

Itulah yang terlihat di Cikarang (Kabupaten Bekasi), Kabupaten Karawang, dan kawasan lain di sekitar kota Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Lalu, mungkin sebagai kompensasinya, pemerintah menggenjot pertanian di luar Jawa, seperti dengan adanya proyek "food estate".

Proyek tersebut menggunakan lebih kurang sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan.

Namun demikian, tentu tidak gampang "menyulap" tanah sangat luas itu menjadi food estate. Apalagi dibutuhkan biaya yang relatif mahal.

Selain itu, sebagian aktivis lingkungan hidup juga menyampaikan keberatannya, karena proyek tersebut dinilai akan merusak alam dan rakyat yang menerima akibatnya (siaran pers dari walhi.or.id).

Jadi, mengacu pada paparan di atas, paling tidak ada 2 hal utama yang membuat pembangunan di bidang pertanian jadi kurang kondusif.

Kedua hal dimaksud yakni penyempitan lahan yang berlangsung terus menerus dan semakin sulitnya melakukan regenerasi petani.

Merespon hal tersebut, khususnya terkait regenerasi petani, pemerintah di berbagai daerah menggalakkan program petani milenial atau petani keren.

Sebagai contoh, Pemprov Jawa Barat menargetkan akan ada 5.000 petani milenial pada 2023 mendatang (Kompas.com, 4/11/2021).

Untuk menarik minat para pemuda usia 19-39 tahun yang menjadi sasaran, Pemprov Jawa Barat memakai semboyan: "Tinggal di desa, rezeki kota, bisnis mendunia".

Mereka yang berminat akan diseleksi terlebih dahulu. Kemudian, yang lolos seleksi akan mendapat sejumlah fasilitas, antara lain akan dicarikan off-taker oleh Pemprov.

Off-taker adalah perusahaan yang menjamin menyerap hasil pertanian atau menjadi penghubung antara para petani dengan pasar yang lebih besar.

Selama ini, petani sering dirugikan karena hanya terbatas menjual hasil panennya ke pihak pengepul yang turun ke desa-desa.

Makanya tidak heran, harga yang dibayarkan konsumen akhir di kota-kota ke pedagang sangat timpang dengan harga yang diterima petani dari pengepul.

Selain soal off-taker, petani milenial juga akan mendapat fasilitas permodalan dari perbankan dan transfer teknologi dan inovasi dari pempov.

Adapun pemkab dan pemkot di seluruh Jawa Barat berperan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) petani milenial dan menyediakan lahan pertanian.

Kita berharap semoga program petani milenial di semua daerah (tidak hanya Jawa Barat) akan menuai hasil sesuai yang direncanakan.

Kuncinya hanya satu, bila sudah terbukti kesejahteraan petani meningkat dengan mengikuti program petani milenial, maka nantinya akan banyak anak muda yang sengaja memilih petani sebagai profesi.

Dari pembahasan di atas, ada kesan bahwa pemerintah bersikap mendua, terlepas dari apakah itu pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Di satu pihak, lahan pertanian dikonversi jadi komplek perumahan dan kawasan industri. Tentu, itu terjadi setelah mendapat izin dari pemerintah.

Di lain pihak, pemerintah berusaha mengajak semakin banyak anak muda yang tertarik untuk jadi petani dengan pengelolaan bergaya kekinian.

Bisa jadi, jika ditelaah lebih jauh, mungkin terdapat ego sektoral, di mana program Kementerian Pertanian dalam beberapa hal tidak sinkron dengan Kementerian yang membidangi industri, perumahan, dan sebagainya.

Apapun itu, program petani milenial layak untuk disambut hangat, agar anak muda tidak lagi alergi jadi petani.

Anak-anak desa yang semakin baik tingkat pendidikannya, diharapkan tidak merasa malu untuk kembali ke desa.

Tak semua sarjana harus berburu jadi pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan perusahaan kelas menengah ke atas.

Dan jangan ada lagi pertanyaan seperti ini: "kalau akhirnya mau jadi petani, kenapa harus sekolah tinggi-tinggi?".

Toh, jadi petani ini keren, mereka juga berpakaian rapi dan menggunakan teknologi informasi terbaru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun