Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kesabaran Berlipat Ganda Merawat Orangtua, Ada yang Lupa Jalan Pulang

4 November 2021   07:11 Diperbarui: 6 November 2021   03:45 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita tentang panti jompo menjadi ramai setelah seorang ibu bernama Trimah (usia 69 tahun) dititipkan ketiga orang anaknya ke sebuah panti jompo di Malang.

Tak pelak lagi, berita tersebut langsung viral dan menuai pro dan kontra di media daring dan media sosial.

Sekilas gampang ditebak, suara yang mengecam anak-anak tersebut jauh lebih banyak ketimbang yang mendukung.

Hal itu tentu berkaitan dengan betapa mulianya status seorang ibu jika mengacu pada ajaran agama, serta adat dan budaya kita di Indonesia.

"Surga di telapak kaki ibu", merupakan hal yang sering diceramahkan oleh pemuka agama, agar kita selalu menghormati orangtua.

Anak-anak yang melawan orangtua di mata masyarakat akan diberi label sebagai anak durhaka, dan ini menjadi stigma negatif tentunya.

Tapi, mungkin ada baiknya kita juga melihat dari sisi anak, kira-kira apa yang menyebabkan mereka begitu kesulitan atau kewalahan dalam merawat orang tuanya?

Alasan kesibukan bagi warga kota besar cukup banyak mengemuka. Mereka berangkat dari rumah ke tempat kerja sebelum matahari terbit dan pulang ke rumah setelah matahari terbenam.

Tentu, waktu yang tersedia untuk memperhatikan orang tua sangat terbatas. Di lain pihak, orang tua membutuhkan teman bercerita sepanjang hari, kecuali waktu tertidur saja.

Alasan ekonomi, mungkin juga jadi faktor yang memberatkan bila orang tua tinggal di rumah salah seorang anaknya, meskipun sebetulnya kebutuhan orang tua relatif tidak banyak.

Selain itu, ada hal yang lebih bersifat psikologis yang sebetulnya jadi alasan yang utama kenapa merawat orang tua, terutama yang pikun, terasa berat. 

Tapi, kalau ditanya, mereka yang keberatan itu biasanya hanya menjawab soal kesibukan dan soal ekonomi yang menjadi alasan.

Faktor psikologis dimaksud adalah perlunya kesabaran yang berlipat ganda bila punya orang tua yang pikun atau yang secara medis ada yang disebut damensia dan ada pula yang alzheimer.

Konon, tingkah laku orang tua yang sudah pikun kembali seperti anak-anak, suka ngambek sambil marah-marah.

Bayangkan, kalau itu terjadi ketika orang tua dirawat oleh salah seorang anaknya yang juga punya rumah tangga sendiri. 

Orang tua akhirnya sering bertengkar dengan anak, menantu, dan cucu-cucu.

Ada lagi masalah jika secara fisik orang tua masih baik, hanya daya ingatnya yang menurun tajam. Yang bikin si anak sangat kewalahan bila orang tua tanpa setahu yang lain ke luar rumah dan tidak tahu jalan pulang.

Maka, jalan yang mungkin dilewati orang tuanya akan disusuri si anak sambil bertanya ke orang lain yang mungkin mengetahuinya.

Kemudian, harus diakui, meskipun secara umum seorang anak menyayangi orang tuanya, tapi derajat rasa sayang itu tidak sama untuk semua orang, tergantung cara mendidik yang dulu dilakukan orang tuanya.

Kata pepatah, kasih sayang ibu sepanjang jalan, sedangkan sayang anak ke ibunya hanya sepanjang galah. 

Tapi, pepatah itu berlaku relatif, banyak kok anak yang sangat sayang dan telaten merawat orang tua dengan ikhlas.

Namun, tentu ada saja pengecualian. Orang tua yang sangat keras mendidik anak (yang justru keras karena sayangnya, takut si anak masa depannya suram), oleh si anak akan diterima sebagai pengekangan.

Akibatnya, tanpa disadari ada ketidaksukaan si anak ke orang tua, terlepas dari apakah gara-gara itu si anak akan kualat atau tidak.

Terlepas dari berita di awal tulisan ini, kita sebaiknya tidak terburu-buru memberikan stigma negatif kepada anak yang orang tuanya dirawat di panti jompo atau yang sejenis itu.

Toh, bisa jadi itu atas permintaan orang tua itu sendiri atau bisa pula atas dasar kesepakatan bersama antara orang tua dan semua anak-anaknya.

Jika anak bertindak sepihak, atau bahkan dengan mengakali, ini yang rasanya membuat hati nurani kita terusik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun