Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Nasi Padang Instan, Agar Korban Bencana Tak Makan Mi Melulu

3 November 2021   06:30 Diperbarui: 3 November 2021   06:33 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti diketahui, negara kita termasuk negara yang rawan bencana alam. Musibah tsunami, banjir bandang, tanah longor, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya, sudah begitu sering terjadi di berbagai penjuru tanah air.

Di satu sisi, kita mungkin masih kecewa dengan mitigasi bencana tersebut, yang jarang dilakukan dengan baik oleh masyarakat dan juga oleh instansi pemerintah terkait.

Padahal, jika kita berbicara dari sisi manajemen risiko, sebetulnya sudah ada panduannya, baik yang dilakukan sebagai tindakan antisipasi sebelum bencana, saat terjadi bencana, dan upaya pemulihan setelah bencana.

Namun, di sisi lain, ada pula berita baiknya. Ternyata rasa solidaritas sosial masyarakat kita masih kuat tanpa tersekat-sekat dengan perbedaan suku, ras dan agama.

Jangan heran, walaupun bencana terjadi di Sulawesi Tengah, warga Sumatera Barat (yang jaraknya terpisah ribuan kilometer) dengan ikhlas mengirimkan bantuan berupa makanan rendang yang tahan lama untuk para korban.

Berkaitan dengan makanan bantuan, harus diakui, kebanyakan hanya berupa berkardus-kardus mi instan, yang mohon maaf, dari segi kandungan gizi belum lengkap.

Tapi, justru mi instan lah yang paling praktis, yang sangat gampang dimasak oleh korban bencana yang tinggal di tenda pengungsian.

Karena kondisi tersebut, tim peneliti di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang membuat sebuah terobosan dengan mengembangkan nasi padang instan.

Sebagaimana ditulis Kompas.id (1/11/2021), nasi padang instan bisa menjadi alternatif yang lebih baik dan tahan lama untuk kebutuhan nutrisi para penyintas bencana. 

Makanan tersebut terdiri dari nasi, rendang dan sayur yang sudah dikeringkan dan distrelisasi. Ketika mau disantap, dipanaskan kembali.

Uniknya, untuk memanaskan nasi padang instan tak perlu pakai air panas, karena menggunakan teknologi self heating atau memanaskan secara otomatis (kompas.tv, 24/10/2021).

Jadi, cukup tuangkan air dingin ke dalam plastik berisikan bahan-bahan nasi padang instan, makanan ini segera bisa dinikmati hangat-hangat.

Daya tahannya diklaim bisa hingga satu tahun, makanya cocok untuk dijadikan pangan darurat bencana. Jauh lebih lama dibanding makanan rendang yang biasa dikirim dari Sumbar bagi korban bencana.

Jelas, makan nasi dengan lauk rendang akan lebih enak dan lebih mengenyangkan ketimbang makan mi insatan.

Apalagi, rendang sudah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia menurut survei dari CNN International pada 2011.

Masalahnya, apakah nasi padang instan akan diproduksi secara rutin dalam arti dikomersialkan oleh perusahaan tertentu?

Kalau hanya dibuat bila ada bencana, tentu disayangkan. Toh, bukan hanya korban bencana yang membutuhkan, tapi juga mereka yang dalam perjalanan jauh, baik ke daerah lain di dalam negeri maupun ke luar negeri. 

Untuk memproduksi secara massal, tentu berkaitan pula dengan hak paten yang saat ini masih dalam proses di Kementerian Hukum dan HAM.

Setelah proses tersebut selesai, apakah pihak Universitas Andalas akan bekerja sama dengan perusahaan tertentu, belum didapat informasinya.

Satu hal yang pantas diapresiasi, hasil penelitian perguruan tinggi negeri tertua di Sumatera itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat banyak.

Selama ini, ada kesan hasil penelitian di perguruan tinggi hanya sekadar penelitian semata, tanpa ada tindak lanjut bagaimana memasyarakatkannya.

Siapa tahu, perguruan tinggi lainnya bisa menghasilkan penelitian yang berpotensi dikembangkan oleh pelaku usaha, khususnya di level UMKM.

Sudah saatnya perguruan tinggi "menginjak bumi", tidak sekadar berkutat dengan karya ilmiah semata, tapi terasing dari masyarakat.

Akhirnya karya ilmiah hanya berhenti sekadar koleksi atau sekadar menaikkan pangkat para penelitinya.

Untuk itu, perguruan tinggi harus peka menangkap  apa yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun