Tulisan ini lahir setelah saya menonton tayangan berita dari salah satu stasiun televisi, Minggu pagi (31/10/2021).
Berita tersebut tentang groundbreaking atau pencangkulan pertama proyek pemugaran Menara Siger di Bakauheni, Lampung, oleh Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo.
Perlu diketahui, bagi mereka yang melakukan perjalanan melintasi Selat Sunda dari pelabuhan Merak di Banten, begitu berlabuh di Bakauheni, akan melihat sebuah menara di atas sebuah bukit.
Bahkan, sebelum berlabuh pun, kalau penumpang kapal mau berangin-angin di bagian kapal yang terbuka untuk melihat pemandangan, penampakan Menara Siger sudah terlihat menonjol dan cantik, pertanda daratan Sumatera sudah dekat.
Menara Siger itu sendiri berupa bangunan seperti mahkota berwarna kuning dan merah. Siger adalah mahkota adat pengantin wanita di Lampung.
Bagi mereka yang membawa kendaraan pribadi, begitu keluar dari kapal, bisa menyempatkan diri singgah di Menara Siger yang menjadi salah satu objek wisata di Lampung.
Dari menara tersebut, pengunjung dapat menikmati indahnya pemandangan Teluk Lampung dan Selat Sunda.
Akan terlihat pula gugusan kepulauan dan kapal-kapal yang berlayar. Angin sepoi-sepoi yang berhembus di atas bukit itu akan menambah kesyahduan.
Tentu, dengan direnovasinya Menara Siger, tampilannya akan lebih memikat bagi para wisatawan.
Sewaktu dulu Menara Siger diresmikan pada 30 April 2008, menara ini sekaligus menjadi penanda titik nol kilometer Sumatera.Â
Sah-sah saja sebetulnya penyebutan titik nol kilometer tersebut, kalau perhitungannya dari ujung selatan Sumatera.
Masalahnya, jauh sebelum itu, di Sabang, Provinsi Aceh, sudah punya Tugu Nol Kilometer Indonesia.
Sabang memang tidak terletak di Pulau Sumatera, tapi di pulau kecil yang bernama Pulau Weh yang merupakan pulau paling utara di Indonesia.
Namun, logikanya, bila perhitungan kilometer dari utara ke selatan, maka titik nol kilometer Sumatera berada di Kota Banda Aceh.
Tapi ya, tidak usah dipermasalahkan. Indonesia dihitung jaraknya dari utara ke selatan, sebaliknya Sumatera diukur dari selatan ke utara. Toh, akan ketemu di tengah-tengah bukan?Â
Menariknya di Sota, Kabupaten Merauke juga menyebutkan sebagai titik nol kilometer paling timur di Indonesia.
Agar tidak keliru dengan yang di Sabang, yang di Merauke tersebut ditulis: "0 km Merauke-Sabang", artinya dihitung dari timur ke barat.
Pada skala yang lebih kecil, maksudnya di tingkat daerah, juga ada beberapa titik nol kilometer yang terkenal, seperti di Yogyakarta.
Ada lagi, tugu lainnya yang juga bernilai secara geografis, yakni Tugu Khatulistiwa, anatara lain ada di Pasaman (Sumbar) dan Pontianak (Kalbar).
Jadi, tidak ada masalah sebetulnya. Yang penting, bagaimana mempromosikan tugu atau titik nol kilometer yang ada beberapa versi itu, agar semakin ramai dikunjungi.
Tentu, untuk saat ini kunjungan ke objek wisata masih harus mematuhi protokol kesehatan, mengingat pandemi belum sepenuhnya berakhir.
Dengan berkunjung ke titik nol kilometer, inilah penanda awal sebuah perjalanan untuk menumbuhkan rasa cinta kepada negeri sendiri yang amat luas dan indah ini, terutama bagi generasi muda dan para remaja.
Bagi mereka yang sudah dari dulu mencintai tanah air, artinya sekadar mengingatkan bahwa rasa cinta itu harus selalu dirawat.
Karena hari ini kita memperingati Hari Pahlawan (10 November 2021), teriring pesan: "jangan pernah lelah mencintai Indonesia dengan selalu melakukan perbuatan positif".
Para pahlawan telah berjuang keras merebut dan mempertahankan kemerdekaan, giliran kita melanjutkannya dengan memberikan yang terbaik yang kita bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H