Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah, Pemuda Sekarang Banyak yang Hebat

28 Oktober 2021   08:00 Diperbarui: 28 Oktober 2021   08:04 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemuda masa kini|dok. goodnewsfromindonesia.id

Betapa seringnya kita mendengar generasi yang lebih tua berkisah tentang kehebatannya di masa muda dan sekaligus menyampaikan penilaian tentang generasi muda sekarang yang tidak sehebat generasi sebelumnya.

Memang, sekilas pendapat itu ada dasarnya. Misalnya kalau kita membaca buku-buku sejarah Indonesia. Pada usia sangat muda, Soekarno dan Hatta telah melahirkan pemikiran besar.

Tidak sekadar pemikiran, tapi kedua tokoh tersebut juga menjadi yang terdepan dalam pergerakan melawan penjajahan Belanda, sehingga wajar bila kemudian menjadi dwi tunggal proklamator kemerdekaan RI.

Hanya saja, membandingkan prestasi antar generasi tidak bisa begitu saja, karena kondisi serta tantangan di setiap zaman berbeda-beda.

Soekarno-Hatta yang merupakan angkatan 45 memang sangat heroik. Tapi, angkatan 45 terbantu dengan perjuangan yang dirintis oleh angkatan 28 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Melalui Sumpah Pemuda, para pemuda dari berbagai suku, ras, dan agama, bersatu padu. Persatuan itulah yang melapangkan jalan bagi angkatan 45.

Kemudian muncul lagi angkatan 66 antara lain yang terhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menumbangkan kekuasaan Orde Lama.

Selanjutnya kita mengenal gerakan mahasiswa angkatan 98 yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto selama Orde Baru dan sekaligus melahirkan Orde Reformasi.

Lalu, sekarang muncul kritikan bahwa tokoh-tokoh reformasi begitu duduk menjadi pejabat, tetap ada saja yang masih mempraktikkan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan pemuda masa kini agar cita-cita reformasi jangan hanya sekadar slogan, tapi mampu diwujudkan?

Tapi, jangan buru-buru menilai anak muda sekarang hanya sibuk bermedia sosial saja atau disebut juga dengan kaum rebahan.

Bahwa kalau dilihat dari gerakan massa yang turun ke jalan seperti angkatan 66 dan 98, jelas anak sekarang jarang melakukannya.

Namun, seperti yang disinggung di awal tulisan ini, kondisi setiap zaman berbeda-beda. Sekarang, aksi turun ke jalan malah kurang efektif.

Toh, menyampaikan aspirasi dan menggerakkan massa secara lebih cepat, dapat dilakukan melalui media sosial.

Bahwa sebagian remaja hanya sibuk pamer bergaya narsis di media sosial, memang begitulah adanya.

Demikian pula sebagian pemuda yang terbelah secara politik dan saling menghujat, sampai sekarang masih ada.

Namun, tolong lihat dengan objektif anak muda kreatif yang membantu pelaku usaha mikro memasarkan produknya secara online. 

Lihatlah anak muda yang menggalang bantuan untuk para korban Covid-19, korban bencana alam, dan korban-korban lainnya.

Prestasi "raksasa" juga ditunjukkan oleh beberapa perusahaan rintisan (startup) Indonesia yang mampu bersaing secara global.

Atau, mari kita bicara yang "kecil" karena jarang terungkap di media, anak muda yang jadi petani keren sudah muncul di beberapa daerah.

Tak sedikit pula yang jadi pengajar di tempat terpencil, yang jadi penggerak desa wisata, yang jadi penggerak bank sampah, dan sebagainya.

Kemudian, banyak pelajar Indonesia yang memenangi Olimpiade Matematika, Olimpiade Fisika, atau Olimpiade lainnya.

Di bidang agama, betapa banyaknya remaja sekarang yang menjadi tahfiz (penghafal) Al-Quran.

Kegairahan beragama anak muda sekarang juga terlihat menonjol jika dilihat dari banyaknya yang mengikuti pengajian secara langsung dan secara daring.

Makanya, jangan menilai mereka yang main gawai semuanya untuk bersenang-senang saja.

Bahwa anak sekarang banyak yang terlibat narkoba, banyak yang tersesat dalam pergaulan bebas, bukan alasan untuk menyamaratakan semua anak muda seperti itu.

Bukankah generasi lama pun juga begitu? Coba baca novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer yang mengambil setting zaman kolonial.

Ketika itu anak muda nakal yang digambarkan suka mabuk dan "jajan" di kompleks pelacuran, juga sudah ada.

Tentu, kenakalan tersebut sesuai dengan zamannya tanpa alat komunikasi canggih seperti sekarang.

Jadi, masalah generasi tua memandang generasi muda sebagai orang yang malas, manja, atau karakter negatif lainnya, antara lain karena gagal paham. 

Sebagai contoh, saya punya pengalaman dengan 3 orang anak saya. Ada satu di antaranya yang paling susah diatur karena sering pulang malam, bangun kesiangan, malas beribadah, dan perilaku lain yang di mata saya kurang bagus.

Bahkan, anak ini bertipe "pemberontak". Namun, begitu memasuki kelas 3 SMA, ia serius belajar dan berhasil masuk PTN favorit.

Sekarang si "pemberontak" itu lebih berhasil dari 2 anak saya lainnya. Artinya, jujur, saya gagal paham dengan anak saya.

Sedangkan anak yang lain yang selama ini "anak manis", jadi anak rumahan, malah seperti kehilangan motivasi agar mampu hidup mandiri.

Nah, mungkin dalam skop yang lebih luas, gagal paham itu secara umum terjadi antar generasi tua dan generasi muda.

Intinya, mari kita saling memahami dan saling berkontribusi bagi negeri kita tercinta ini dengan komunikasi yang lebih cair.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun