Meskipun demikian, saya juga belum secara total sepenuhnya memasuki "dunia putih".
Ya, tepatnya dunia saya masih abu-abu, sehingga ada teman saya yang bingung warna apa yang cocok untuk mendeskripsikan rambut saya.
Sebetulnya, setiap saya pangkas rambut di sebuah barber shop langganan saya, saya selalu ditawari untuk mengecat rambut.
Namun, karena saya sudah ikhlas meninggalkan dunia hitam, saya sedikit pun tidak berminat untuk menerima tawarannya.
Malasnya saya mengecat rambut tak ada hubungannya dengan keyakinan. Memang, sebagian penceramah agama tidak membenarkan mengecat rambut.
Alasannya, uban itu adalah peringatan dari Allah agar kita waspada dengan waktu yang berjalan cepat, jadi harus segera tobat.
Dalam hal ini, mengecat rambut bisa ditafsirkan sebagai melawan kodrat, menantang peringatan Allah.
Saya tidak ingin mengomentari pandangan penceramah agama di atas. Bagi saya, yang bikin malas adalah untuk bisa konsisten mengecat rambut, minimal sebulan sekali.
Mungkin juga kenapa dunia hitam cepat sekali harus saya tinggalkan, berhubungan dengan dosa masa lalu saya.
Soalnya, entah mitos atau fakta, kata orang mencabut uban malah memancing tumbuhnya uban yang lebih banyak.
Kalau itu bukan mitos, sungguh acara cabut uban saya yang berkolaborasi dengan anak-anak sendiri merupakan dosa masa lalu dan berakibat fatal.