Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun, membuat kegiatan masyarakat lebih terbatas dibandingkan saat sebelum pandemi.
Sebetulnya, saat ini perkembangan penanganan Covid-19 semakin membaik bila dilihat dari penambahan kasus baru yang di bawah 1.000 orang per hari secara nasional.
Mengingat saat puncak pandemi beberapa bulan lalu penambahan kasus harian pernah mencapai 40.000-50.000 kasus, tentu yang sekarang ini merupakan kemajuan yang signifikan.
Makanya, masyarakat mulai semakin dibolehkan untuk beraktivitas di luar rumah, dengan catatan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Hanya saja, dalam beberapa hal, ketentuan yang baru justru lebih ketat dan memberatkan masyarakat ketimbang sebelumnya.
Contohnya, bagi pengguna jasa transportasi udara, ada kewajiban harus mengikuti tes PCR terlebih dahulu, padahal  sebelumnya cukup dengan tes antigen.
Masalahnya, biaya tes PCR beberapa kali lipat di atas biaya tes antigen. Bahkan, bagi penumpang pesawat jarak pendek, biaya tes PCR bisa sama besarnya dengan biaya tiket pesawat.
Presiden Joko Widodo telah meminta agar biaya tes PCR diturunkan menjadi Rp 300.000. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, biaya sebanyak itu tetap dirasa mahal.
Terkait biaya tersebut, ada soal lain yang menimbulkan pertanyaan, jika dengan biaya Rp 300.000 pihak penyedia tes PCR masih bisa beroperasi (tidak tekor), apakah berati ketika harganya di atas Rp 1 juta, mereka menuai untung sangat besar?
Begitulah, akhirnya mau tak mau pengguna jasa transportasi udara harus tes PCR dengan hasil negatif, selain telah mendapatkan vaksinasi.
Ketentuan di atas ternyata berdampak positif bagi penyedia transportasi darat, khususnya bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan penyedia jasa travel yang biasanya berupa minibus.