Boleh dikatakan bahwa tidak ada di antara kita yang terbebas dari pajak. Dengan demikian, semua kita telah berkontribusi untuk terwujudnya pembangunan di negara kita tercinta ini.
Soalnya, sumber anggaran pendapatan negara yang terbesar berasal dari pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat.
Memang, untuk jenis pajak penghasilan, lapisan masyarakat dengan pendapatan di bawah batas tertentu, tidak terkena pajak. Tapi, semua orang yang berbelanja barang dan jasa tertentu, sering tanpa disadari di dalamya telah termasuk komponen pajak yang nantinya oleh si penjual akan disetorkan ke negara.
Bahkan, jika kita makan di restoran, secara ketentuan akan terkena pajak, meskipun merupakan pajak yang dipungut oleh daerah (pemkab dan pemkot).
Jadi, sebagai warga negara yang baik, janganlah kita berpikir akan bisa menghindar dari kewajiban membayar pajak.
Apalagi, sekarang ini pemerintah sedang mempersiapkan implementasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tentu, bila hal itu sudah berlaku, akan semakin mudah bagi masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, sekaligus mempermudah pemerintah untuk mengawasinya.
Tidak hanya soal NPWP yang berubah. Ada beberapa hal lagi yang berubah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) pada Kamis (7/10/2021) yang lalu.
Perubahan yang signifikan adalah yang terkait dengan mekanisme perhitungan tarif kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi. Kalau selama ini ada 4 lapisan tarif, sekarang menjadi 5 lapis, yakni sebagai berikut.
Pertama, untuk penghasilan Rp 0 sampai Rp 60 juta per tahun, dikenakan tarif PPh sebesar 5 persen.