Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemimpin Bermental Penjajah dan yang Terkungkung Mental Terjajah

1 Oktober 2021   04:50 Diperbarui: 1 Oktober 2021   04:59 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jenderal Hindia Belanda JP Coen | dok. Westfries-Museum, dimuat kompas.com

Saya tertarik dengan tulisan berjudul "Jalan Penderitaan Pemimpin" yang dimuat harian Kompas, edisi Kamis, 30 September 2021.

Pada tulisan itu antara lain menyinggung kondisi yang kita hadapi saat ini. Setelah 76 tahun terbebas dari penjajahan, kita justru menyaksikan pemimpin bermental penjajah.

Seperti penjajah, banyak pemimpin mengeksploitasi kekayaan negara demi keserakahan pribadi. Apa yang salah kaprah dengan pemimpin kita sekarang ini, begitu pertanyaan dalam tulisan tersebut.

Ya, pertanyaan dalam hati saya pun seperti itu. Tapi, sebelum memaparkan pendapat saya, perlu ditekankan, yang dimaksud pemimpin bermental penjajah tentu pemimpin yang terbukti berbuat korupsi, bukan untuk semua pemimpin.

Saya sengaja menekankan bukan semua pemimpin, karena meskipun tidak banyak, di media massa masih dijumpai tulisan bernada positif tentang adanya pemimpin yang mau menderita, mengabdi dan melayani.

Tapi, kalau dibandingkan dengan para pemimpin di era awal kemerdekaan, rasanya persentase pemimpin yang betul-betul bersih semakin sedikit.

Memang, sekarang sulit menemukan pemimpin yang seperti Bung Hatta, mantan Kapolri Hoegeng, atau mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa. 

Atau, yang lebih baru adalah mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang berpulang pada 28 Februari 2021 lalu.

Nama-nama yang disebut di atas konsisten hidup secara sederhana karena hanya mengandalkan gaji semata-mata, tidak tergiur untuk mencari uang lewat "menjual" tanda tangannya.

Di lain pihak, sekarang kasus korupsi masih saja terjadi silih berganti, seolah-olah tak pernah berhenti.

Setelah beberapa orang bupati dicokok Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), sekarang yang lagi jadi topik hangat di media massa menyangkut politisi muda yang menjadi Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin.

Seperti diberitakan cnnindonesia.com (27/9/2021), Azis Syamsuddin merupakan tersangka kasus suap dana alokasi khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah.

Menariknya, disebutkan juga bahwa Aziz yang kolektor motor gede dan mobil mewah itu mempunyai harta sebanyak Rp 100,3 miliar.

Baik, dari pembahasan tentang kasus korupsi kita beralih ke topik lain, tapi masih berkaitan dengan "mental penjajah".

Istilah "mental penjajah" ternyata bisa dipersepsikan lain, bahkan punya konotasi yang positif.

Seperti diberitakan tirto.id (23/8/2019), Moeldoko, yang juga Kepala Staf Kepresidenan Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia harus membangun mental penjajah.

Moeldoko menjelaskan salah satu contoh yang dimaksud dengan menjajah adalah berusaha memperluas jangkauan perekonomian Indonesia ke negara lain.

Intinya jangan takut bersaing dengan orang asing. Jika kita masih merasa orang asing itu superior, artinya kita masih terkungkung dengan mental terjajah.

Berbicara soal penjajahan, sekarang secara formalitas ketatanegaraan, negara-negara yang dulu terjajah, sudah mendapatkan kemerdekaan.

Tapi, pengertian penjajahan mulai bergeser kepada penjajahan secara ekonomi, ketika China, sebagai contoh saja, dengan royal mengucurkan dana ke banyak negara berkembang.

Tentu saja kucuran dana berkaitan dengan berbagai proyek raksasa di negara yang menerima bantuan dan perusahaan-perusahaan dari China menjadi pelaksana proyek tersebut.

Lalu, sebagian kebutuhan tenaga kerja di berbagai proyek itu juga diisi oleh tenaga kerja asal China.

Apakah Indonesia akan meniru China dengan menanamkan investasi di berbagai negara lain? Bukankah Indonesia sendiri malah kekurangan dana dan mengincar agar modal asing mau masuk.

Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri, bagi pelaku usaha di Indonesia, kemampuan bersaingnya melawan produk asing memang perlu terus menerus diasah.

Bagi masyarakat banyak, janganlah buru-buru antipati dengan menilai rendah produk negeri sendiri. Saatnya gerakan mencintai produk dalam negeri bukan sekadar slogan.

Jadi, kembali ke soal mental penjajah, ternyata memaknainya bisa dilihat dari dua sisi, sisi positif dan sisi negatif, sehingga kita perlu cermat melihat konteks pembahasannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun