Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jadi Pemodal Pasif Bisnis Rumah Makan, Jangan Abaikan Soal Pengawasan

24 September 2021   17:22 Diperbarui: 26 September 2021   18:34 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah makan.| Sumber: Kompas.com/Garry Andrew Lotulung

Meskipun bisnis dengan pola waralaba sudah masuk di Indonesia sejak dekade 1980-an, perkembangan yang sangat pesat baru terasa sejak belasan tahun terakhir ini.

Ambil contoh pada bisnis makanan. Awalnya dulu konsep waralaba hanya terbatas pada makanan asing seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald's, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, minuman kopi Starbucks, dan sebagainya.

Sekarang, makanan lokal pun menuai sukses dan berkembang amat cepat di berbagai penjuru tanah air. Es Teler 77, Rumah Makan Padang Sederhana, Kebab Baba Rafi, Bakmi GM, J.CO Donuts, Ayam Bakar Mas Mono, adalah beberapa contoh yang sukses.

Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa selera anak muda sekarang lebih suka makanan asing, ya, sekilas memang terlihat seperti itu.

Tapi, bukannya tidak ada peluang bagi waralaba makanan lokal, termasuk makanan tradisional yang merujuk pada makanan daerah tertentu.

Itulah makanya kalau kita melihat di food court yang ada di mal-mal besar, waralaba asing dan waralaba lokal sama-sama punya pelanggan yang ramai.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas apa itu waralaba secara teknis. Tapi, ada sisi lain yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca yang tertarik terjun ke bisnis waralaba.

Harus diakui, bisnis ini sangat menggiurkan, terutama bagi mereka yang punya modal. Ada anggapan bahwa apabila kita punya modal, maka membuka outlet barang atau jasa tertentu dengan pola waralaba, akan berjalan mulus.

Bayangkan, bila kita bisa menyediakan sejumlah dana yang dipersyaratkan oleh penyedia waralaba (franchisor), kita akan bisa menjual suatu barang atau jasa dengan merek yang sudah dikenal di lokasi yang strategis

Kemudian, standar operasionalnya, termasuk juga pelayanannya, semua sudah diatur. Jika bisnis tersebut di bidang kuliner, rasa makanannya sama dengan di outlet lain yang tersebar di banyak lokasi.

Tapi, betulkah hanya faktor modal yang jadi penentu utama? Itu yang akan dibahas di bawah ini, berdasarkan pengalaman seseorang.

Ceritanya, seorang pejabat di sebuah bank jadi pemodal pasif untuk membuka jaringan sebuah outlet rumah makan tradisonal dengan pola waralaba.

Disebut pemodal pasif, karena si pejabat hanya terlibat dalam menyediakan dana, tapi tidak ikut aktif mengelola. 

Tentu ada perjanjian antara si pemodal pasif dengan si pengelola rumah makan tentang mekanisme pembagian bagi hasilnya.

Sebelum itu, ada orang yang mengaku sudah berpengalaman mengelola rumah makan, berniat untuk mendapatkan hak menjual makanan tradisional yang namanya sudah dikenal dan punya banyak cabang.

Hanya saja, untuk kawasan tertentu yang cukup ramai, jaringan waralaba makanan tersebut belum ada, itulah yang mau diisi oleh orang yang berminat itu.

Karena untuk mendapatkan hak waralaba relatif mahal, si peminat ini mendekati pejabat bank itu tadi yang mereka memang sudah saling kenal.

Dari hasil beberapa kali diskusi, terjadilah kesepakatan di antara mereka. Mereka memulai bisnis dengan optimis karena sangat yakin dengan nama rumah makan yang sudah terkenal, akan jadi jaminan kesuksesan.

Dan memang, rumah makan tersebut tidak kesulitan mencari pelanggan, apalagi lokasinya sangat mendukung, di daerah perlintasan antara kawasan pemukiman dan kawasan perkantoran.

Masalahnya bagi si pemodal pasif, ketika usaha sudah berjalan satu tahun dan menerima laporan keuangan dari pengelola, ternyata hasilnya tidak seindah yang dibayangkan.

Karena keuntungan yang dilaporkan kecil, maka yang menjadi "jatah" si pemodal pasif tentu sebagian dari itu, sesuai yang diperjanjikan.

Menurut laporan tersebut, biaya pembelian bahan menjadi sumber pengeluaran terbesar. Hal ini sulit bagi pemodal untuk menguji kebenarannya.

Memang, karakteristik rumah makan tradisional agak unik. Menunya banyak, otomatis bahan baku, bumbu, dan cara memasak masing-masing menu cukup ribet.

Padahal, kalau dibandingkan dengan waralaba menu ayam goreng asal negeri Paman Sam, menunya relatif tidak banyak dan menghitung biaya bahan bakunya lebih gampang.

Jadi, ada tiga pihak dalam kasus di atas. Antara pemberi hak (franchisor) dan penerima hak (franchisee) diduga sudah cukup jelas hak dan kewajibannya. 

Nah, perjanjian turunannya, yakni antara penerima hak yang sekaligus pengelola untuk sebuah outlet dengan pemodal pasif, diduga masih banyak wilayah abu-abunya.

Pemodal yang hanya menerima laporan tanpa melakukan pengawasan, katakanlah dengan cara inspeksi mendadak (sidak), bisa jadi akan dirugikan.

Dalam kasus di atas, kebetulan si pemodal adalah orang bank yang sangat paham bila hasil investasi masih di bawah suku bunga deposito, ini namanya bisnis yang tidak layak.

Bukanlah lebih baik uang yang akan dikucurkan ke suatu bisnis ditempatkan sebagai deposito, lalu duduk manis di rumah. Imbalannya sudah jelas dan risikonya boleh dikatakan sangat rendah.

Jika memang memutuskan untuk mengucurkan modal pada usaha rumah makan, jangan percaya begitu saja pada pengelola. Sepakati dulu sistem pembukuannya termasuk mekanisme perhitungan labanya.

Hal ini tidak hanya berlaku untuk rumah makan dengan pola waralaba. Intinya, memodali rumah makan biasa pun, perlu kehati-hatian mengingat banyak celah terjadinya kebocoran, baik pada pembelian bahan, maupun dari penjualan makanan.

Meskipun namanya pemodal pasif, jangan terlalu pasif. Sesekali adakan kunjungan mendadak, periksa pembukuannya dan cocokkan dengan bon pembelian bahan.

Ilustrasi aneka menu masakan Padang|Foto diambil dari bisnisukm.com
Ilustrasi aneka menu masakan Padang|Foto diambil dari bisnisukm.com

Periksa pula jumlah pelanggan yang datang dan kalikan dengan rata-rata uang yang dibelanjakan pelanggan, kemudian cocokkan dengan uang kas harian yang diterima.

Kalau tidak yakin bisa mengawasi, lebih baik memakai sistem imbalan tetap. Misalnya, jika memasukkan modal Rp 1 miliar, terlepas dari jumlah keuntungan, si pemodal akan dapat imbalan tetap Rp 7 juta setiap bulan.

Angka 7 juta hanya sekadar contoh. Tapi, untuk kondisi sekarang imbalan sebesar itu cukup logis, tidak terlalu tinggi, tapi berlipat dua ketimbang bunga deposito.

Intinya, bermitra dalam bisnis merupakan hal yang bagus. Modal dan keahlian di suatu bidang, menjadi hal yang penting, tapi kejujuran kedua belah pihak bersifat mutlak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun