Seorang teman bercerita kisah sedihnya terkait kepemilikan tanah. Ada dua bidang tanah yang dibelinya sekitar 15 tahun lalu, sekarang tidak jelas nasibnya.
Kwitansi pembelian dan surat dari kecamatan memang disimpannya, tapi yang tidak jelas adalah keberadaan tanah tersebut secara fisik.
Memang, ketika membeli dulu, teman saya ini orang sibuk karena menjadi salah satu pejabat di sebuah perusahaan besar di Sumatra.
Maka ketika ada sebidang tanah yang amat luas dijual oleh pemiliknya dengan memecah menjadi beberapa bidang, beberapa pejabat di sana pada membeli.Â
Dan itu terjadi dua kali dengan jarak waktu sekitar 1-2 tahun. Hanya lokasi tanah pertama dan kedua berada di kecamatan yang berbeda, tapi sama-sama di luar kota (sudah masuk kabupaten tetangga dari ibu kota provinsi).
Pertimbangan teman tersebut hanya karena merasa harganya murah dan percaya dengan keterangan temannya yang membeli di area yang sama.
Jadi, teman saya ikut membeli tanpa melihat dulu ke lokasi. Namun, beberapa temannya sudah ke sana dan memperlihatkan foto tanah tersebut.
Lagipula, bagi teman saya tanah tersebut belum akan diapa-apakan, hanya sebagai salah satu cara menyimpan duit.
Teman saya tahu sekali bahwa kota provinsi akan terus berkembang, sehingga harga tanah yang dibelinya, saat ia pensiun nanti akan meningkat beberapa kali lipat.
Jelaslah, kalau begitu membeli tanah bukan sekadar menyimpan duit, tapi sekaligus untuk berinvestasi. Hal ini sudah diketahui umum, tak perlu lagi dipaparkan alasannya.