Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Uji Fisik Membuat Nyawa Seorang Taruna PIP Semarang Melayang

12 September 2021   18:00 Diperbarui: 12 September 2021   18:10 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampus PIP Semarang|Foto: Istimewa, dimuat beritasatu.com

Miris, terjadi lagi praktik perploncoan di sebuah institusi pendidikan tinggi yang berujung maut. Kali ini berita duka datang dari Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang.

Seperti diberitakan cnnindonesia.com (10/9/2021), mahasiswa taruna PIP Semarang, Zidan Muhammad Faza (21 tahun) tewas karena dipukul seniornya dalam tradisi pembinaan di Mes Indo Raya, Semarang, Senin (6/9/2021).

Kejadian bermula ketika para senior PIP angkatan 54 memanggil mahasiswa angkatan 55. Mereka menjalankan tradisi pembinaan untuk menempati mes tersebut.

"Kemudian dilakukan tradisi uji fisik berupa pukulan ke perut", kata Kapolrestabes Semarang Kombes Polisi Irwan Anwar. 5 orang senior bergantian memukul 15 orang junior.

Korban Zidan awalnya kuat menahan pukulan. Namun, Zidan tumbang saat terakhir dipukul seorang senior, Caesar Richardo Bintang Samudra, sehingga tak sadarkan diri.

Kisah yang mengenaskan seperti di atas, telah berulang kali terjadi di berbagai kampus. Itu baru yang terungkap, diperkirakan tak kalah banyaknya kasus yang tak terungkap ke publik. 

Sebut saja misalnya sejumlah kasus yang dulu terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Jawa Barat, yang cukup menghebohkan ketika itu, karena ramai diberitakan media massa.

Dikutip dari cnnindonesia.com (30/8/2017), catatan hitam di IPDN sudah terjadi sejak lama di kampus yang telah melahirkan banyak pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

Lebih lanjut, dari informasi yang dihimpun cnnindonesia.com, setidaknya ada 35 praja yang meninggal dalam kurun waktu 1993 sampai 2007.

Namun, hanya 10 kasus saja yang terungkap ke publik. Rata-rata mereka tewas tak wajar dan dugaan perlakuan tak layak dari senior.

Setelah itu, kekerasan di IPDN kembali tercatat pada 2014, 2015, dan 2017. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, tetap saja ini menjadi noda hitam bagi IPDN.

PIP ataupun IPDN adalah perguruan tinggi yang bersifat kedinasan. Artinya, alumninya mayoritas akan berkarier di dinas yang berkaitan.

Nah, apabila sejak kuliah mereka sudah menghadapi iklim kekerasan dalam interaksi antara senior dan junior, maka bukan tidak mungkin ketika bekerja kelak akan berlanjut dengan terjadinya perundungan di tempat kerja.

Jangan mengira di perguruan tinggi umum tidak terjadi aksi kekarasan saat mahasiswa angkatan baru memulai kegiatan di kampus, yang biasanya diawali dengan program orientasi.

Tapi, pada masa pandemi seperti sekarang ini, memang menjadi blessing in disguise bagi mahasiswa baru.

Hanya saja, frekuensi kasus di perguruan tinggi umum tidaklah sesering di perguruan tinggi kedinasan. Paling tidak, seperti itu kesannya dari pemberitaan di media massa.

Bagaimanapun juga, aksi perundungan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus harus dihentikan. Para penentu kebijakan di kementerian terkait pun sudah menghendaki penghentian itu.

Hal ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang sangat strategis sebagai kawah candradimuka bagi penerus masa depan bangsa.

Jika saat kuliah mereka sudah dicekoki dengan tindakan perundungan atau tindakan kekerasan, bisa jadi nantinya perundungan di tempat kerja akan dianggap sebagai hal biasa saja.

Masalahnya, untuk memutus mata rantai tindak kekerasan berbalut perploncoan yang telah turun temurun setiap angkatan, bukan hal yang mudah.

Memang, selagi angkatan baru masih terkena pukulan atau sejenis itu, maka ketika mereka sudah jadi senior, mereka akan berusaha membalaskan dendam.

Kalaupun mereka diawasi secara ketat agar tidak melakukan perundungan, mereka akan melakukan secara diam-diam di lokasi dan tempat yang tidak terpantau oleh pihak yang mengawasi.

Atau, mungkin juga sebelum angkatan baru diterima, semua mahasiswa senior dikumpulkan dan diceramahi, agar mereka sadar. 

Bisa pula dengan mengancam akan menjatuhkan hukuman pemecatan terhadap okmum mahasiswa yang terbukti melakukan tindak kekerasan.

Tapi, tetap saja tidak ada jaminan peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa junior tidak akan terjadi lagi.

Apakah harus diputuskan kontak angkatan baru dengan angkatan di atasnya? Maksudnya, angkatan baru akan kuliah di lokasi terpisah. Cara ini jelas akan menambah biaya.

Pelik memang masalahnya. Semoga ada solusi yang cespleng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun