Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

MPR Gagas Amandemen Konstitusi, Melebar ke Soal Masa Jabatan Presiden?

14 September 2021   11:43 Diperbarui: 14 September 2021   11:57 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal 2020, para pejabat pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengerahkan segenap sumber daya untuk melawan pandemi Covid-19 yang melanda negara kita.

Hingga sekarang, pandemi sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun. Meskipun dalam 2 minggu terakhir penambahan kasus baru mulai berkurang, tapi perjuangan melawan pandemi belum usai.

Dengan demikian, semua kepala daerah dan juga Presiden, melakukan berbagai penyesuaian program pembangunan, sehingga mungkin saja janji kampanye masing-masing pejabat, belum terlaksana dengan baik.

Nah, barangkali karena kondisi pademi tersebut, muncul wacana untuk menunda pemilu pilkada 2024. Maksudnya, agar para kepala daerah punya cukup waktu untuk menuntaskan programnya.

Padahal, Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan tanggal 21 Februari 2024 sebagai waktu pemilihan umum legislatif (pileg) dan sekaligus pemilihan presiden (pilpres).

Sedangkan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak, dalam rangka memilih gubernur, bupati, dan wali kota, digelar pada 27 November 2024.

Penetapan jadwal di atas telah disepakati oleh DPR, Kemendagri, DKPP, Bawaslu, dan KPU sendiri, seperti ditulis liputan6.com (20/8/2021).

Jika alasan penundaan karena para kepala daerah yang terpilih pada pilkada 2019 disibukkan dengan penanganan pandemi sehingga tidak berkesempatan memenuhi janji kampanyenya, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan.

Pada dasarnya, program terpadu untuk mengatasi pandemi, jika seorang gubernur, bupati atau wali kota, berhasil melaksanakannya dengan baik, itu juga sebuah prestasi yang cemerlang.

Tidak saja keberhasilan menekan jumlah warganya yang terpapar Covid-19, kemampuan suatu daerah mendistribusikan bantuan kepada semua warganya yang berhak, akan menjadi credit point tersendiri.

Apalagi misalnya kegiatan perekonomian di suatu daerah mulai hidup tanpa mengabaikan protokol kesehatan. 

Artinya, keterbukaan sektor ekonomi yang selama ini dinilai sebagai biang keladi sumber penularan Covid-19, bisa disiasati.

Perkembangan terbaru, wacana penundaan pemilu dengan terlebih dahulu mengamandemen UUD 1945, tampaknya mulai meredup.

Namun demikian, amandemen untuk soal lain, masih terbuka kemungkinan. Hal ini berkaitan dengan gagasan MPR mengamandemen konstitusi untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

PPHN fungsinya mirip dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada waktu Orde Baru yang membuat program pembangunan bisa berjalan secara berkesinambungan.

Kesuksesan pelaksanaan GBHN dulunya sangat ditunjang karena presidennya tidak berganti, dipegang oleh Soeharto selama enam kali Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun, turunan dari GBHN).

Nah, agar PPHN bisa sukses, tentu siapapun pengganti Joko Widodo, diharapkan programnya menginduk ke PPHN.

Atau, bagi sebagian kalangan, muncul gagasan kenapa tidak diubah saja konstitusi sehingga presiden bisa menjabat selama 3 periode, atau melakukan penundaan pilpres karena kondisi pandemi.

Hanya saja, menurut MPR, wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden tidak akan dibahas dalam amandemen konstitusi.

Tapi, seperti ditulis kompas.id (14/9/2021), kalangan masyarakat sipil menilai tak ada jaminan amandemen tidak melebar ke isu di luar PPHN.

Hal lain, terlepas dari kapan akan dilakukan pemilu, tahun 2024 atau ditunda, akan lebih baik bila pemilu dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi yang lebih canggih. 

Penggunaan teknologi akan menghemat banyak hal, terutama penggunaan anggaran. Hal ini terkait dengan makin berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dan berkurangnya waktu yang dibutuhkan.

Tapi, semua tahapan dalam pemilu tetap harus dilalui, hanya saja dilakukan secara sistem. Keuntungannya, menjadi lebih transparan karena ada jejak digital yang memudahkan untuk dilacak bila terjadi sengketa

Dengan transparansi, sekaligus akuntabilitas pemilu lebih terjaga. Tantangan terbesar adalah menyangkut keamanan data agar tidak diretas.

Dok. kompas.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Dok. kompas.com/Akbar Bhayu Tamtomo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun