Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bad News is Good News dan Dahsyatnya Netizen Power

9 September 2021   17:00 Diperbarui: 9 September 2021   17:03 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentu telah sering mendengar atau membaca dahsyatnya people power yang berhasil menumbangkan suatu rezim yang telah memerintah puluhan tahun.

Tumbangnya Presiden Ferdinand Marcos di Filipina pada tahun 1986 merupakan buah dari demonstrasi massal yang oleh pers dijuluki dengan people power di negara yang bertetangga dengan Provinsi Sulawesi Utara itu.

Demikian pula di negara kita sendiri. People power yang mengusung gerakan yang menuntut dilakukannya reformasi, berhasil memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998 lalu.

Nah, di era maraknya media sosial seperti sekarang ini, people power terlah bertransformasi. Kelompok yang melakukan aksi demo tak perlu berpanas-panas di jalanan.

Cukup dengan menggerakkan ujung jari di gawai, yang bila dilakukan oleh banyak orang, akan muncul netizen power yang juga dahsyat dampaknya.

Seperti yang sekarang terjadi, ada aksi boikot dari para netizen terhadap kemunculan Saipul Jamil di layar kaca. Pedangdut tersebut baru-baru ini telah selesai menjalani hukuman karena kasus pelecehan seksual terhadap seorang anak.

Pembebasan Saipul dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, seperti yang diliput sejumlah stasiun televisi, terkesan disambut hangat oleh sebagian orang, bak menyambut pahlawan saja.

Lalu, Saipul pun diminta mengisi acara di salah satu stasiun televisi. Tapi, merespon aksi boikot para netizen itu, akhirnya pihak manajemen stasiun televisi tersebut menyampaikan permohonan maaf.

Jelaslah, netizen power terbukti efektif. Cara pemboikotan di atas disebut juga sebagai salah satu bentuk cancel culture atau mengenyahkan seseorang dari lingkaran sosial atau lingkaran profesinya.

Tentu, cancel culture tersebut menimbulkan pro dan kontra. Dilihat dari sisi korban pelecehan seksual yang dilakukan Saipul, aksi boikot dirasa tepat, agar menimbulkan efek jera dan tak ada lagi kasus serupa.

Tapi, dilihat dari pribadi Saipul, termasuk keluarga dan penggemarnya, aksi boikot seolah tidak memberikan kesempatan bagi orang yang telah selesai menjalani hukuman.

Terlepas dari pro dan kontra di atas, tulisan ini mencoba melihat dari sisi media, khususnya stasiun televisi yang tertarik menjadikan Saipul menjadi pengisi acara.

Mungkin kesalahan tidak serta merta dialamatkan ke pengelola stasiun televisi. Hal ini diawali oleh liputan luas media massa saat Saipul dibebaskan.

Nah, mumpung nama Saipul kembali tenar di mata para jurnalis, diduga masyarakat juga akan merespon secara positif, sehingga Saipul pun diundang tampil secara khusus untuk mengisi acara di televisi.

Prinsip "bad news is good news" terlanjur dipegang oleh media massa sejak dulu. Intinya, berita yang bertendensi negatif seperti kasus pelecehan seksual, kasus korupsi, kasus terorisme, malah dicari pembaca atau pemirsa televisi.

Tak heran bila artis yang beberapa kali terlibat kasus pemakaian narkoba, masih saja sering nongol di layar kaca. 

Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terlibat kasus korupsi malah lebih ngetop, dalam arti dikenal luas ketimbang Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Tokoh kriminal justru lebih dikenal ketimbang tokoh yang menerima penghargaan karena perjuangannya dalam bidang lingkungan hidup.

Tapi, begitulah, dengan adanya aksi boikot, tentu diharapkan ada hikmahnya. Media massa makin tersadar dengan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat banyak.

Media yang semata-mata menjual berita demi menciptakan kehebohan agar semakin laku, perlu melakukan perbaikan.

Jangan sampai sebagian orang terpicu untuk berbuat jahat justru karena meniru modus serupa yang ramai diberitakan media.

Namun demikian, netizen yang ramai-ramai melakukan aksi boikot, juga perlu berhati-hati. Tanya dulu hati nurani, baru ikut beraksi, jangan sekadar ikut-ikutan.

Soalnya, dalam kasus lain, misalnya yang beraroma politik untuk menjatuhkan politisi tertentu, bisa saja netizen power muncul karena ada yang merancang dan bukan karena spontanitas.

Sangat tidak kondusif bila aksi boikot dilawan dengan aksi anti boikot dengan jumlah pendukung yang sama banyaknya. 

Jika itu terjadi, akhirnya persatuan bangsa yang telah susah payah kita pelihara, bisa terpecah belah secara tragis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun