Terlepas dari pro dan kontra di atas, tulisan ini mencoba melihat dari sisi media, khususnya stasiun televisi yang tertarik menjadikan Saipul menjadi pengisi acara.
Mungkin kesalahan tidak serta merta dialamatkan ke pengelola stasiun televisi. Hal ini diawali oleh liputan luas media massa saat Saipul dibebaskan.
Nah, mumpung nama Saipul kembali tenar di mata para jurnalis, diduga masyarakat juga akan merespon secara positif, sehingga Saipul pun diundang tampil secara khusus untuk mengisi acara di televisi.
Prinsip "bad news is good news" terlanjur dipegang oleh media massa sejak dulu. Intinya, berita yang bertendensi negatif seperti kasus pelecehan seksual, kasus korupsi, kasus terorisme, malah dicari pembaca atau pemirsa televisi.
Tak heran bila artis yang beberapa kali terlibat kasus pemakaian narkoba, masih saja sering nongol di layar kaca.Â
Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terlibat kasus korupsi malah lebih ngetop, dalam arti dikenal luas ketimbang Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Tokoh kriminal justru lebih dikenal ketimbang tokoh yang menerima penghargaan karena perjuangannya dalam bidang lingkungan hidup.
Tapi, begitulah, dengan adanya aksi boikot, tentu diharapkan ada hikmahnya. Media massa makin tersadar dengan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat banyak.
Media yang semata-mata menjual berita demi menciptakan kehebohan agar semakin laku, perlu melakukan perbaikan.
Jangan sampai sebagian orang terpicu untuk berbuat jahat justru karena meniru modus serupa yang ramai diberitakan media.
Namun demikian, netizen yang ramai-ramai melakukan aksi boikot, juga perlu berhati-hati. Tanya dulu hati nurani, baru ikut beraksi, jangan sekadar ikut-ikutan.