Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Lama Nian Tak Plesiran, Jangan Sampai Balas Dendam Berlebihan

1 September 2021   04:05 Diperbarui: 1 September 2021   04:04 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemacetan di Puncak|Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya, via kumparan.com

Karena punya anak yang kuliah di Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, saya relatif sering ke kota kecil yang layak disebut kota pendidikan itu. 

Ada sejumlah perguruan tinggi lain di sana, termasuk Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Makanya, tanpa kehadiran mahasiswa, Jatinangor ibarat kota mati.

Kota "mati" itulah yang terjadi di sana sejak 1,5 tahun terakhir ini. Bukan karena tidak ada perkuliahan, namun karena musibah pandemi, kegiatan perkuliahan berlangsung secara online.

Anak saya pun sudah 1,5 tahun tidak ke kampusnya dan juga tidak tinggal di tempat kos, meskipun uang kos tetap dibayar dengan sedikit diskon. 

Karena anak saya memilih tinggal di rumah kami di Jakarta Selatan, maka saya juga sudah sekitar 1,5 tahun tidak berkunjung ke Jatinangor. 

Pada Sabtu (28/8/2021), karena suatu keperluan, saya dan anak berkunjung ke Jatinangor. Dugaan saya sebelum berangkat, perjalanan akan berjalan lancar karena tidak banyak dilewati kendaraan.

Untuk berjaga-jaga, kami membawa kartu yang menyatakan kami telah divaksin. Siapa tahu ada pemeriksaan dari tim satgas Covid-19 di daerah yang kami lewati.

Ternyata tak ada peyekatan atau pemeriksaan sama sekali saat kami sebagai warga Jakarta memasuki daerah Jawa Barat, termasuk ketika keluar tol di Jatinangor.

Lalu lintas cukup padat, namun secara umum perjalanan terbilang lancar. Rata-rata kecepatan mobil bisa dipacu 80-90 km per jam. 

Namun, sewaktu kami berhenti di rest area KM 88, saya kaget karena susah sekali mendapatkan tempat parkir. Artinya, masyarakat yang bepergian melewati jalan tol Jakarta-Bandung, relatif banyak.

Akhirnya setelah berkeliling, dapat juga tempat parkir, meskipun agak jauh dari toilet dan masjid. Saya terpaksa jalan kaki lumayan jauh agar bisa menunaikan salat Zuhur.

Masjidnya terlihat baru, sepertinya bangunan yang lama dirobohkan, dan dibangun lagi dengan ukuran lebih besar. Agak di luar kebiasaan, masjid memakai nama perusahaan yang barangkali menjadi sponsor pembangunan.

Namun, perusahaan tersebut, yakni Bank Syariah Mandiri, sebetulnya sudah tidak eksis, karena sekarang bergabung dalam Bank Syariah Indonesia.

Baik di toilet, di ruang wudhu, maupun dalam masjid, pengunjung lumayan banyak. Menurut saya kondisinya persis mirip hari libur sebelum pandemi.

Saya jadi hati-hati agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Menjaga jarak dengan yang lain menjadi penting karena sebagian pengunjung saya lihat sengaja melepas masker.

Untung saya juga membawa hand sanitizer. Saya tidak melihat sabun cair di wastafel yang ada di pintu masuk toilet.

Sebetulnya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), baik di Jakarta, maupun Jawa Barat, masih berlaku.

Hanya saja sudah ada sedikit pelonggaran, bukan lagi Level 4, tapi sudah turun jadi Level 3. Kalau saya tidak keliru, restoran, mal, tempat wisata, hotel, villa, sudah boleh dibuka, tapi kapasitasnya masih 50 persen.

Masjid di rest area km 88 tol cipularang|dok. cintamobil.com
Masjid di rest area km 88 tol cipularang|dok. cintamobil.com

Ringkas cerita, kami sampai di Jatinangor sekitar jam 14.30, atau 150 menit setelah berangkat dari Jakarta. 

Nah, yang sebetulnya ingin saya tekankan, adalah apa yang saya alami saat pulang ke Jakarta. Kami sengaja tidak lewat tol, melainkan lewat kawasan Puncak.

Tujuan saya sebetulnya ingin cuci mata, agar bertukar pemandangan dengan suasana pebukitan, kebun teh, dan hal lain yang menarik di sepanjang jalan.

Ada semacam kerinduan saya untuk lewat Puncak sekaligus mengamati denyut bergulirnya kembali dunia usaha yang terkait dengan pariwisata.

Sayangnya, pilihan saya ternyata keliru. Bukan pemandangan indah yang kami temui, melainkan kondisi yang crowded sejak dari Cianjur hingga kota Bogor.

Dari balik kaca mobil yang berjalan merambat, kadang-kadang berhenti total karena macet parah, saya melihat pemandangan yang menurut saya mengerikan.

Pengunjung menyesaki berbagai tempat makan, tempat penjualan oleh-oleh, Masjid At-ta'awun yang ada di Puncak Pas, Cimory Dairyland, dan berbagai lokasi yang sering dijadikan tempat kumpul-kumpul.

Jelas agak sulit untuk menjaga jarak, padahal sebagian pengunjang, termasuk juga pedagang dan petugas parkir, tidak memakai masker.

Alhasil, saya yang sempat istirahat sebentar di sebuah masjid di Cianjur dan kemudian pukul 5 sore mulai jalan lagi, baru jam 11 malam sampai di Bogor, untuk selanjutnya melaju kencang di jalan tol Bogor-Jakarta.

Saya melihat aroma balas dendam bagi masyarakat yang kemarin melintasi Puncak, baik yang dari arah Jakarta maupun dari arah Cianjur, sama padatnya.

Sebetulnya bisa dimaklumi kenapa balas dendam itu muncul, tentu karena masyarakat sudah terlalu lama tertawan di rumah sendiri.

Hanya saja, perlu dicamkan, balas dendam yang berlebihan gara-gara lama nian tak plesiran, berpotensi membawa petaka baru yang sama-sama tidak kita harapkan.

Petaka itu maksudnya berupa naiknya kembali jumlah warga yang terpapar Covid-19 akibat munculnya kerumunan di tempat-tempat wisata.

Semoga pandemi di negara kita yang sekarang sudah mulai menunjukkan ke arah yang membaik, tidak membuat kewaspadaan kita berkurang. 

Maka, boleh saja berwisata jika memang objek yang dituju sudah dibuka, tapi mematuhi protokol kesehatan jangan sampai kendor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun