Akhirnya setelah berkeliling, dapat juga tempat parkir, meskipun agak jauh dari toilet dan masjid. Saya terpaksa jalan kaki lumayan jauh agar bisa menunaikan salat Zuhur.
Masjidnya terlihat baru, sepertinya bangunan yang lama dirobohkan, dan dibangun lagi dengan ukuran lebih besar. Agak di luar kebiasaan, masjid memakai nama perusahaan yang barangkali menjadi sponsor pembangunan.
Namun, perusahaan tersebut, yakni Bank Syariah Mandiri, sebetulnya sudah tidak eksis, karena sekarang bergabung dalam Bank Syariah Indonesia.
Baik di toilet, di ruang wudhu, maupun dalam masjid, pengunjung lumayan banyak. Menurut saya kondisinya persis mirip hari libur sebelum pandemi.
Saya jadi hati-hati agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Menjaga jarak dengan yang lain menjadi penting karena sebagian pengunjung saya lihat sengaja melepas masker.
Untung saya juga membawa hand sanitizer. Saya tidak melihat sabun cair di wastafel yang ada di pintu masuk toilet.
Sebetulnya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), baik di Jakarta, maupun Jawa Barat, masih berlaku.
Hanya saja sudah ada sedikit pelonggaran, bukan lagi Level 4, tapi sudah turun jadi Level 3. Kalau saya tidak keliru, restoran, mal, tempat wisata, hotel, villa, sudah boleh dibuka, tapi kapasitasnya masih 50 persen.
Ringkas cerita, kami sampai di Jatinangor sekitar jam 14.30, atau 150 menit setelah berangkat dari Jakarta.Â
Nah, yang sebetulnya ingin saya tekankan, adalah apa yang saya alami saat pulang ke Jakarta. Kami sengaja tidak lewat tol, melainkan lewat kawasan Puncak.