Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Agar Kantong Tak Dijebol Pinjol, Pakai Prinsip "Bayang-bayang Sepanjang Badan"

27 Agustus 2021   10:02 Diperbarui: 27 Agustus 2021   10:09 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya belum pernah punya pengalaman meminjam melalui aplikasi pinjaman online (biasa disingkat pinjol), apalagi yang berstatus pinjol ilegal.

Tapi, dari cerita seorang teman saya, gampang disimpulkan bahwa pinjol ilegal beroperasi dengan gaya yang bisa ditafsirkan menjebak nasabahnya.

Bukan teman saya yang meminjam, tapi salah seorang anaknya yang baru bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah yayasan pendidikan yang bernaung di bawah ormas Islam terkenal di tanah air.

Gaji si anak tidak sampai sebesar upah minimum, hanya sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Di lain pihak, sebagai anak milenial, si anak butuh membeli barang dan juga butuh ngopi-ngopi cantik di kafe atau di mal.

Awalnya si anak hanya meminjam Rp 1 juta, dan seharusnya jika ia mencicil sesuai jadwal, ia akan mampu melunasi. Tapi, setelah beberapa kali menunggak, jumlah pinjaman membengkak dan ia diteror oleh petugas pinjol.

Hanya saja, takut dimarahi orang tuanya, si anak membuat kesalahan yang jauh lebih besar. Ia menutup utangnya ke pinjol semula dengan meminjam lagi ke pinjol yang lain. Istilahnya, gali lobang tutup lobang.

Akhirnya terjadilah hal yang menghebohkan. Utang si anak sudah berjumlah Rp 30 juta. Atasan dan teman-temannya di kantor jadi tahu.

Tentu yang lebih sedih adalah ibunya si anak (ayahnya sudah meninggal dunia). Mau dimarahi oleh si ibu, toh nasi sudah jadi bubur. 

Maka, tabungan si ibu pun dipakai untuk menutupi utang tersebut. Namun, tabungan si ibu tidak cukup, sehingga salah seorang anaknya (kakak dari yang berutang), juga membantu, agar bisa dilunasi.

Sekarang si anak sudah kapok berutang melalui pinjol. Jika sangat terpaksa, ia berutang melalui koperasi di tempatnya bekerja.

Nah, akhir-akhir ini, seiring dengan banyaknya warga yang mengalami kesulitan ekonomi karena pengaruh pandemi, bisnis pinjol diduga semakin marak.

Fenomena tersebut menjadi ironis, bila membandingkan dengan yang terjadi pada perbankan secara umum.  Pertumbuhan kredit perbankan mengalami kontraksi.

Artinya, jumlah pinjaman yang diberikan bank pada masyarakat menurun ketimbang yang disalurkan pada tahun sebelumnya.

Namun, apa yang terjadi di bank bukan hal yang aneh. Bank memang sangat selektif dalam  memberikan kredit. Jika bank tidak yakin seorang calon peminjam akan mampu mengembalikan kredit, bank akan menolak permohonan kredit.

Inilah yang membuat masyarakat kelas bawah terjepit. Peluang meminjam dari bank boleh dikatakan tidak ada. Satu-satunya harapan adalah mendapat bantuan tunai dari pemerintah.

Masalahnya, tidak semua masyarakat terdampak pandemi mendapat bantuan sosial. Mungkin karena data yang belum akurat, atau karena tinggal di daerah yang tak sesuai dengan KTP, sehingga masih ada yang belum kebagian bantuan.

Orang yang sudah tak melihat sumber bantuan lain, begitu mengetahui ada pinjol ilegal yang bisa mengucurkan uang dengan gampang, cukup bermodalkan KTP, tentu saja tak lagi berpikir panjang buat berutang.

Serba sulit memang. Si peminjam hanya berpikir untuk hari ini, bahwa ia butuh uang. Mungkin untuk makan atau memebeli kebutuhan pokok lainnya.

Mereka lupa bahwa sumber untuk melunasi utang belum jelas sama sekali. Itulah yang membuat mereka terjebak pada pola gali lobang tutup lobang.

Yang lebih disayangkan, jika ada yang terjebak pinjol ilegal untuk membeli kebutuhan yang bukan pokok, hanya untuk bersenang-senang.

Jadi, bagaimana sebaiknya kita menyikapi tawaran pinjol yang bertubi-tubi masuk ke gawai kita? 

Ada pepatah lama yang barangkali relevan dengan topik yang kita bahas, yakni :"bayang-bayang sepanjang badan".  Nah, prinsip ini yang perlu kita gunakan.

Maksudnya, kita harus disiplin melakukan pengeluaran sesuai pemasukan yang kita terima. Jangan sampai "besar pasak daripada tiang" alias tekor dalam berbelanja.

Mereka yang berutang, tidak selamanya sebagai orang yang tekor. Bila si pengutang sudah mengukur bayang-bayang sepanjang badan, artinya ia sudah punya kalkulasi akan mampu mengembalikan utang tersebut sesuai yang diperjanjikan.

Bila ia tak yakin mampu mengembalikan, tapi tetap nekat berutang melalui pinjol ilegal, ibaratnya ia telah siap untuk bunuh diri.

Masalahnya, ketika "bunuh diri" menjadi pilihan, yang kena teror oleh pinjol ilegal bisa merembet ke keluarga dan ke teman-temannya.

Terhadap mereka yang betul-betul tak punya uang buat sekadar makan sehari-hari, menjadi tantangan bagi warga sekitar dan aparat pemerintah setempat, untuk lebih meningkatkan kepedulian sosial.

Jangan biarkan ada tetangga kita yang kelaparan, sementara kita mampu untuk makan kenyang.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun