Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bisakah Meraih Kemerdekaan Finansial dalam Kehidupan yang Pas-pasan?

16 Agustus 2021   17:02 Diperbarui: 18 Agustus 2021   14:37 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dokumentasi sikapiuangmu.ojk.go.id

Sudah 76 tahun Republik Indonesia berdiri kokoh setelah dwitunggal Soekarno-Hatta yang bertindak atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tapi, seperti yang dikatakan Bung Karno (panggilan akrab Soekarno), kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, namun hanya menjadi jembatan emas untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Nah, berbicara tentang kemakmuran, mau tak mau harus membahas soal keuangan, atau istilah kerennya "finansial". Finansial jika digabungkan dengan kemerdekaan, lahirlah istilah kemerdekaan finansial.

Karena perayaan hari ulang tahun kemerdekaan kali ini, sama dengan tahun lalu, tidak memungkinkan dilakukan dengan cara berkumpul bersama, ada baiknya kita merenungkan tentang kemerdekaan finansial masing-masing.

Ya, anggap saja kegiatan "merenung" ini sebagai acara 17an di rumah sendiri. Bisa juga dengan membahas bersama semua anggota keluarga dengan sistem diskusi.

Secara politik, Indonesia memang sudah merdeka. Masyarakatnya secara individual pun telah merdeka di bidang politik, dalam arti berhak memilih wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memilih kepala daerah, dan juga memilih Presiden.

Bahkan, kalau ada warga yang merasa punya kemampuan dan memenuhi syarat, berhak untuk mencalonkan diri mendapatkan jabatan publik.

Namun, apakah secara finansial kita sudah merdeka? Hal ini bisa dilihat pada dua hal, kemerdekaan finansial untuk Indonesia sebagai bangsa dan kemerdekaan finansial bagi masing-masing kita sebagai individu atau rumah tangga.

Kemerdekaan finansial bagi negara kita, tidak akan menjadi fokus tulisan ini. Soalnya, pro dan kontra antar kelompok pendukung pemerintah dan yang bukan pendukung, sangat mungkin punya kesimpulan yang berbeda.

Perbedaan tersebut salah satunya dalam melihat indikator jumlah utang negara. Dalam hal ini, pengembalian pokok pinjaman serta pembayaran bunganya cukup besar yang menjadi beban anggaran negara.

Kelompok yang kontra pemerintah cenderung mengatakan bahwa Indonesia menuju "negara gagal" karena utang yang besar tersebut, sementara anggaran negara masih digerogoti oleh ulah oknum yang melakukan tindak pidana korupsi.

Tapi, menurut pemerintah, utang kita masih terkendali dan belum sampai pada level membahayakan. Artinya, utang tersebut digunakan untuk pembangunan dan dari hasil pembangunan akan mampu mengembalikan utang.

Biarlah hal tersebut dibahas oleh pihak yang berwenang atau para pakar. Fokus tulisan ini adalah soal kemerdekaan finansial untuk kita sebagai individu.

Ada yang mengatakan bahwa seseorang yang masih punya utang, misalnya ke bank, ke koperasi, ke pinjaman online, ke rentenir, ke famili, atau ke teman, itu pertanda bahwa orang tersebut belum merdeka secara finansial.

Tapi, sepanjang orang yang berutang punya aset yang nilainya lebih besar dari utangnya, atau punya sumber penghasilan rutin yang mampu untuk mencicil pembayaran utang, maka kondisi finansialnya boleh dikatakan sehat.

Jadi, kata kuncinya ada pada kemampuan mengembalikan utang. Bila tidak mampu atau terpaksa memakai sistem "gali lobang tutup lobang", dalam arti membayar utang dengan cara berutang lagi ke pihak lain, ini yang sangat berbahaya. 

Bila kita mencari referensi teori tentang kemerdekaan finansial, dengan gampang bisa ditemui pada tulisan beberapa orang yang berprofesi sebagai financial planner (perencana keuangan) di media massa.

Salah satunya ditulis oleh Prita Hapsari Ghozie (Kompas, 14/8/2021) yang mendefinisikan merdeka finansial sebagai kondisi dimana individu mampu melepaskan ketergantungan satu demi satu terhadap suatu kebutuhan hidup.

Pripta lebih lanjut menjelaskan tahapan yang membuat seseorang bisa meraih kebebasan finansial, antara lain tidak punya utang konsumtif, punya dana darurat, punya aset investasi, dan punya penghasilan pasif (dari hasil deposito, obligasi, dan sebagainya).

Artikel ini tidak akan mengelaborasi referensi teori di atas. Tapi, dengan cara yang sederhana, mari kita kupas kemerdekaan finansial yang dikaitkan dengan kehidupan seseorang yang pas-pasan.

Ada dua makna pas-pasan, yakni versi baku dan versi plesetan. Tentu, yang dipahami secara umum adalah yang versi baku.

Pas-pasan versi baku artinya penghasilan seseorang atau kondisi finansialnya "cukup untuk hidup sederhana". Tapi, jangan buru-buru mengatakan mereka yang hidup pas-pasan belum merdeka secara finansial.

Jika mereka tidak terlalu banyak keinginan (lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pokok), sebetulnya mereka sudah merdeka. Hanya saja, masih pada taraf sederhana.

Makannya cukup, meskipun pakai lauk tahu dan tempe. Sandangnya cukup, meskipun hanya punya beberapa potong pakaian. Rumah pun ada meski berkategori RSS (rumah sangat sederhana) bertipe 21 atau 7 kali 3 meter.

Ada masalah kesehatan, cukup dengan kartu BPJS. Anak mereka sekolah di sekolah negeri yang bebas SPP. Pergi ke mana-mana, ada uang yang cukup untuk membayar kendaraan umum.

Masalahnya, setelah kebutuhan pokok terpenuhi, banyak orang yang ingin sedikit bergaya. Inilah yang terkadang membuat seseorang belum merasa merdeka secara finansial.

Kita cenderung melihat "ke atas", ke arah orang kaya. Padahal, tengoklah "ke bawah", masih banyak warga yang untuk makan pun tidak cukup uangnya, sehingga terpaksa meminta belas kasihan orang lain.

Idealnya, kita memang hidup pas-pasan dalam versi plesetan. Pas mau pergi, ada mobil pribadi. Pas mau jalan-jalan ke luar negeri, ada dana yang bisa dipakai.

Pas mau mengadakan pesta mewah, tinggal ambil uang di bank. Pas istrinya kebelet ingin tas berharga sangat mahal, si suami tinggal gesek kartu.

Pas anaknya kesengsem dengan gadget seri terbaru, si ayah tinggal bilang "ambil aja". Inilah hidup pas-pasan yang jadi dambaan semua orang.

Tapi, kalau dipikir-pikir, kehidupan pas-pasan versi plesetan itu sudah merupakan "kemewahan finansial", bukan sekadar kemerdekaan.

Nah, betapa bagusnya bila mereka yang berlimpah kemewahan semakin bermurah hati mengguyur bantuan kepada kelompok yang belum merdeka secara finansial.

Cara berbagi tersebut ada yang spontan memberi uang atau sembako. Tapi, bantuan yang lebih terencana yang menjadikan yang dibantu punya usaha sebagai sandaran hidupnya, tentu lebih bagus lagi.

Ketika kemerdekaan finansial bisa diraih masyarakat secara merata, meskipun baru pada level pas-pasan dalam arti baku, tentu cita-cita pendiri bangsa untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, sudah berada di depan mata kita.

Ilustrasi Dokumentasi sikapiuangmu.ojk.go.id
Ilustrasi Dokumentasi sikapiuangmu.ojk.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun