Jika mereka tidak terlalu banyak keinginan (lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pokok), sebetulnya mereka sudah merdeka. Hanya saja, masih pada taraf sederhana.
Makannya cukup, meskipun pakai lauk tahu dan tempe. Sandangnya cukup, meskipun hanya punya beberapa potong pakaian. Rumah pun ada meski berkategori RSS (rumah sangat sederhana) bertipe 21 atau 7 kali 3 meter.
Ada masalah kesehatan, cukup dengan kartu BPJS. Anak mereka sekolah di sekolah negeri yang bebas SPP. Pergi ke mana-mana, ada uang yang cukup untuk membayar kendaraan umum.
Masalahnya, setelah kebutuhan pokok terpenuhi, banyak orang yang ingin sedikit bergaya. Inilah yang terkadang membuat seseorang belum merasa merdeka secara finansial.
Kita cenderung melihat "ke atas", ke arah orang kaya. Padahal, tengoklah "ke bawah", masih banyak warga yang untuk makan pun tidak cukup uangnya, sehingga terpaksa meminta belas kasihan orang lain.
Idealnya, kita memang hidup pas-pasan dalam versi plesetan. Pas mau pergi, ada mobil pribadi. Pas mau jalan-jalan ke luar negeri, ada dana yang bisa dipakai.
Pas mau mengadakan pesta mewah, tinggal ambil uang di bank. Pas istrinya kebelet ingin tas berharga sangat mahal, si suami tinggal gesek kartu.
Pas anaknya kesengsem dengan gadget seri terbaru, si ayah tinggal bilang "ambil aja". Inilah hidup pas-pasan yang jadi dambaan semua orang.
Tapi, kalau dipikir-pikir, kehidupan pas-pasan versi plesetan itu sudah merupakan "kemewahan finansial", bukan sekadar kemerdekaan.
Nah, betapa bagusnya bila mereka yang berlimpah kemewahan semakin bermurah hati mengguyur bantuan kepada kelompok yang belum merdeka secara finansial.
Cara berbagi tersebut ada yang spontan memberi uang atau sembako. Tapi, bantuan yang lebih terencana yang menjadikan yang dibantu punya usaha sebagai sandaran hidupnya, tentu lebih bagus lagi.