Harian Kompas (13/8/2021) cukup keras menanggapi semaraknya baliho politisi akhir-akhir ini. Hal tersebut dinilai sebagai tindakan memburu elektabilitas, tapi dengan mengesampingkan etika politik.
Ironisnya, elektabilitas politisi yang rajin menebar baliho, justru tetap rendah sekali, kalah sama tokoh yang lebih mengutamakan bekerja keras mengatasi pandemi Covid-19.
Ya, banyak warga yang tak habis pikir, kenapa saat pandemi belum usai, "perang" baliho menuju pilpres 2024 sudah dimulai. Alangkah lebih baik bila dana untuk baliho dialihkan kepada warga yang kehilangan penghasilan karena dampak pandemi.
Lagipula, sekarang eranya serba online. Kalau memang mau mencuri start, kampanye tersamar melalui berbagai aplikasi media sosial tentunya akan lebih efektif.
Tapi, begitulah, cara konvensional seperti dengan memasang baliho masih saja laris manis. Terlepas dari sisi etika politik atau momennya yang kurang tepat, tulisan ini lebih menyoroti aspek finansial dari maraknya baliho politisi.
Advertising Agency dengan spesialisasi media luar ruang adalah pihak yang sangat berterima kasih atas baliho dan billboard yang dipesan para politisi.
Seperti ditulis beritasatu.com (9/8/2021), pekerja advertising dapat bonus di tengah masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Bonus dimaksud pada dasarnya berasal dari pemasangan baliho tokoh politik, yang cukup gencar adalah bergambar Ketua DPR Puan Maharani dengan tema "Kepak Sayap Kebhinekaan" dan baliho sosialisasi PPKM.
Bisnis baliho ini termasuk bisnis besar, meskipun tidak diberitakan berapa nilai uang yang berputar dari semaraknya baliho politisi.
Harga satuannya boleh jadi tidak mahal. Tapi, dengan disebarnya baliho yang sama di banyak titik strategis, bahkan juga sampai di berbagai daerah, jelas membutuhkan dana yang banyak.