Kelima, hadiah yang unik, gratis minum kopi seumur hidup di gerai kopi Filosofi Kopi milik aktor Chicco Jerikho.
Keenam, wisata gratis ke destinasi unggulan dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Destinasi wisata unggulan tersebut adalah Labuan Bajo (NTT), Danau Toba (Sumut), Borobudur (Jateng), Mandalika (NTB), dan Likupang (Sulut).
Ketujuh, berupa tabungan emas dari PT Pegadaian. Emas tersebut seberat 3 kg atau setara Rp 2,6 miliar.
Deretan hadiah di atas jelas sesuatu yang luar biasa, pertanda begitu berharganya sekeping medali emas yang membuat bendera merah putih dikerek dan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di event paling bergengsi tersebut.
Nah, lalu apa hubungannya dengan budaya instan? Begini, Greysia dan Apriyani demikian perkasa di Olimpiade, tentu telah melewati proses amat panjang, dan bahkan Greysia pernah nyaris gantung raket.
Alangkah baiknya bila gembar-gembor royalnya hadiah yang dikucurkan kepada atlet berprestasi, juga diikuti dengan pengucuran dana dari berbagai pihak kepada usaha pembibitan, pembinaan dan pelatihan atlet.
Hanya proses yang baiklah yang akan menelurkan hasil yang juga baik. Kata orang, hasil tidak akan mengkhianati proses. Tak mungkin medali emas datang secara instan.
Menarik membaca paparan harian Kompas (6/8/2021) yang berjudul "Perhatikan Pembinaan, Jangan Cuma Bonus Mencengangkan".
Greysia dan Apriyani memang layak dapat bonus berlimpah, karena mereka telah memberikan inspirasi yang luar biasa untuk bangsa dan negara.
Tapi, sebetulnya kita punya atlet potensial yang tersebar di berbagai daerah, tapi mereka latihan dengan fasilitas dan pembinaan yang seadanya.
Sebagai contoh, tempat latihan peraih medali perunggu di cabang olahraga angkat besi Olimpiade Tokyo, Rahmat Erwin Abdullah, sungguh memprihatinkan.