Selain iuran bulanan, ada lagi uang yang ditarik secara sukarela pada waktu tertentu, misalnya di bulan puasa. Ketua sudah mendata siapa saja anggota yang layak dibantu karena sakit kronis atau yang tidak punya penghasilan cukup.
Kemudian, misalnya mau reuni (tahun depan diperkirakan pandemi sudah berlalu, rencana reuni sudah disusun), tentu akan ada lagi iuran khusus reuni.
Ternyata, untuk membayar Rp 10.000 secara konsisten setiap bulan, atau agar praktis, membayar Rp 100.000 untuk 10 bulan, bukan soal gampang.
Tak sedikit anggota yang lupa atau pura-pura lupa. Dan itu tidak ada kaitannya dengan penghasilan seseorang. Soalnya, ada yang terlihat kaya, tapi lupa membayar iuran.
Sebaliknya, ada yang gayanya sangat sederhana, tapi rajin membayar iuran. Jadi, ini lebih ke persoalan kemauan, bukan kemampuan.
Cukup sering ketua alumni mengingatkan, namun masih banyak yang tidak mengindahkan. Akhirnya ketua bikin gebrakan, ia menulis pesan bahwa ia merasa gagal jadi ketua dan meletakkan jabatan. Lalu ia keluar dari grup percakapan media sosial itu.
Seketika muncul tanggapan dari beberapa teman yang pada intinya senada, yaitu menyayangkan sikap ketua yang sangat putus asa dan sekaligus menyeru agar teman-teman yang belum membayar iuran, segera melunasi utangnya.
Saya sendiri tidak memberikan tanggapan dan secara pribadi saya tak punya utang iuran, bahkan untuk beberapa bulan ke depan sudah saya bayar dimuka.
Tapi, dalam hati saya merasa tindakan ketua terlalu drastis, mungkin terbawa sikapnya saat berdinas di kepolisian yang harus tegas dalam segala sesuatu.
Hanya saja, dalam konteks pertemanan yang longgar, sikap tersebut tidak perlu ditempuh. Memang, orang yang cuek dengan soal sumbangan sosial, cukup banyak.
Namun, segala keperluan untuk bantuan kepada anggota yang kurang mampu, biasanya akan tertutupi oleh donasi dari segelintir anggota yang punya kemampuan dan sekaligus kemauan membantu.