Maksud saya begini, sekiranya ada orang yang meminjam dengan alasan yang lebih menggugah hati, saya ikhlas sepenuhnya untuk membantu.
Umpamanya ada yang meminjam untuk membayar biaya pendidikan anaknya, biaya perawatan istrinya di rumah sakit, atau contoh lain yang sifatnya sangat mendesak.
Ya, membayar tukang juga boleh dikatakan mendesak. Kalau tidak dibayar, para tukang dan keluarganya bisa tidak makan.
Tapi, seseorang yang lagi membangun suatu proyek seperti ruko untuk nantinya disewakan, seharusnya sudah punya persiapan keuangan, termasuk untuk membayar upah tukang.
Nah, Kasman yang dengan yakin mengatakan akan membayar utangnya sebulan lagi, tahu-tahu butuh waktu satu tahun, baru uang saya dikembalikannya.
Dugaan saya, selama satu tahun itu bukan berarti Kasman tidak mampu membayar utang. Ini lebih pada soal kemauan saja. Buktinya, proyek rukonya berhasil diselesaikannya. Rupanya, Kasman menunggu dulu rukonya laku dikontrak, baru membayar utang.
Masalahnya, seperti yang diceritakan Kasman, lama sekali rukonya mendapatkan pengontrak, maklum karena lagi pandemi.Â
Namun, menurut saya, Kasman tidak punya komitmen yang kuat untuk membayar utang secara tepat waktu. Orang yang punya komitmen tinggi, akan menempatkan soal melunasi utang sebagai prioritas.
Kalaupun orang tersebut tidak punya uang tunai atau saldo tabungannya relatif kecil, tapi punya aset seperti perhiasan, beberapa unit kendaraan, tanah dan rumah, seharusnya ia tak keberatan melego salah satu asetnya.
Jadi, bila seseorang mau meminjam, kita perlu melakukan penilaian secara cermat tentang kondisi dan karakter si peminjam. Â Kemungkinannya kita akan menemui 4 golongan sebagai berikut.
Pertama, orang yang punya kemampuan membayar utang dan juga punya kemauan baik untuk membayar. Ini kondisi terbaik dan tidak perlu khawatir memberi pinjaman pada orang seperti ini.