Telegram tersebut di kemudian hari berkembang jadi mesin faksimili untuk mengirimkan surat melalui jaringan telepon.
Tulisan saya ini sebetulnya semacam tambahan dari tulisan saya sebelumnya, yang menyatakan bahwa tanpa internet dunia terasa seperti kiamat. Selengkapnya dapat dibaca di sini.
Lalu, tulisan di atas ditanggapi Pak Felix yang kalau saya tulis ulang dengan kalimat saya sendiri kira-kira seperti ini: "di zaman dulu, tanpa internet tetap terasa nikmat".
Saya jadi merenung, ketika belum ada internet, kayaknya biasa saja, para anak muda tetap ceria, nongkrong di tempat tertentu menggoda cewek yang lewat. Sekarang, mereka nongkrong di kafe, tapi masing-masing sibuk dengan gawainya.
Begitulah, setelah mengenal internet, lalu semua orang terhubung, ketergantungan terhadap internet menjadi tak terhindarkan. Itulah yang membuat saya mengibaratkan tanpa internet dunia terasa seperti kiamat.
Inikah jebakan teknologi atau paradoks dari kemajuan zaman? Disebut jebakan, karena ada bisnis raksasa di belakang itu. Ada pula bisnis big data dan ada pula bisnis pencurian data.
Dan, kita semuanya, terperosok dalam jebakan itu tapi dengan perasaan tidak ingin keluar dari perangkap itu. Inilah jebakan nikmat yang bikin ketagihan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H