Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanpa Jaringan Internet, Dunia Terasa Seperti Kiamat

27 Juli 2021   13:25 Diperbarui: 27 Juli 2021   14:02 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi internet| dok. shutterstock, dimuat kompas.com

Sekarang, kebutuhan terhadap internet, boleh dikatakan bersifat mutlak. Tidak hanya orang kota saja, warga desa pun juga membutuhkan internet.

Demikian pula dari sisi usia pengguna internet, menyapu segala usia, kecuali bayi dan lansia yang sudah sangat pikun. Bahkan, anak sekolah pun wajib punya, karena materi pelajaran dilakukan secara online oleh gurunya.

Betapa tidak, dari bangun pagi hingga tidur lagi di malam hari, benda yang harus selalu berada dalam jangkauan kita, adalah gawai. 

Zaman sekarang hampir semua orang punya gawai, bahkan ada orang yang punya 2 atau 3 gawai. Bepergian ke manapun, boleh saja ketinggalan dompet, tapi jangan sampai gawainya tertinggal.

Nah, gawai tanpa internet, akan kehilangan fungsi utamanya, karena berbagai aplikasi yang terpasang di gawai memerlukan jaringan internet.

Mulai dari bekerja, belajar, bertransaksi, mendapatkan informasi, berkomunikasi, berekreasi, menyalurkan hobi, bahkan juga beribadah, akan terasa lebih gampang dengan tersedianya internet.

Jangan mengira orang yang rajin bermain gawai yang terhubung dengan internet adalah kaum rebahan yang pemalas dan cenderung konsumtif.

Ya, yang berinternet untuk main-main seperti itu mungkin banyak. Tapi, mereka yang lebih produktif dengan memanfaatkan teknologi informasi juga cukup banyak, sehingga menambah penghasilan mereka.

Apapun itu, mau jadi orang yang konsumtif atau produktif, sekali lagi, semuanya mutlak membutuhkan hubungan internet. 

Ibaratnya, tanpa internet, dunia terasa seperti kiamat. Apalagi saat adanya pembatasan sosial untuk mengendalikan pandemi seperti sekarang.

Namun, tentu saja dampak negatif dari internet perlu diwaspadai. Jangan sampai seseorang berhasil terhindar dari virus corona, tapi malah terpapar "virus" pornografi, radikalisme, separatisme, atau menghujat kelompok yang berbeda pilihan politik.

Yang juga tak kalah mencemaskan adalah betapa gampangnya seseorang membuat konten yang patut diduga sebagai hoaks, yang kemudian sangat cepat menyebarnya.

Nah, dengan kepintaran mengendalikan diri, maka bisa disimpulkan bahwa manfaat internet jauh lebih besar ketimbang dampak negatifnya.

Hanya saja, untuk bisa lancar jaya berinternet, jelas perlu biaya. Murah atau mahalnya, ya relatif, tergantung kebutuhan masing-masing orang dan kemampuan dananya.

Memang, kalau bisa nebeng internet gratis, tentu lebih asyik. Anak muda lebih suka nongkrong di kafe yang menyediakan Wifi secara cuma-cuma.

Anak kos atau asisten rumah tangga, lebih suka tinggal di rumah yang sudah terpasang Wifi, agar gawainya bisa terhubung dengan internet. Mereka tinggal bertanya apa password-nya kepada pemilik rumah.

Demikian pula di ruang tunggu kantor atau lobi hotel, password Wifi-nya akan menjadi pertanyaan pertama ke resepsionis di sana, bagi tamu yang berburu internet gratis.

Namun, bila ingin nyaman tanpa bercampur dengan orang lain yang belum dikenal, tak bisa lain, harus merogoh kocek sendiri.

Sejak kapan di rumah Anda pasang internet? Atau cukup dengan paket untuk masing-masing gawai yang dimiliki anggota keluarga Anda?

Saya kebetulan memasang dua-duanya. Untuk ramai-ramai di rumah saya pasang internet atau paket Wifi. Tapi, saya tidak memilih paket internet yang di-bundling dengan berlangganan televisi kabel.

Memang, kebutuhan saya untuk menonton televisi sudah jauh berkurang. Saya lebih menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya, termasuk ber-Kompasiana. 

Namun, televisi nasional yang tidak berbayar, tetap saya pantau. Selain siaran berita, saya juga menyukai acara olahraga dan musik.

Selain itu, untuk gawai saya juga ada paket. Saya memilih yang hemat saja, karena dipakai pas lagi di luar rumah, atau pas Wifi di rumah lagi bermasalah.

Tidak sering sebetulnya Wifi di rumah saya bermasalah. Tapi pernah lebih dari 24 jam, baru petugas dari perusahaan provider datang memperbaiki, setelah saya menelpon beberapa kali.

Yang di rumah pun, saya awalnya mencari yang tarifnya relatif murah. Saya mampu bertahan selama sekitar satu tahun. Tapi, lama-lama, internetnya lemot banget. 

Kemudian saya menghubungi pihak provider-nya, dan saya minta di-up grade, meskipun tarif bulanan jadi naik dua kali lipat. Namun, sampai sekarang, kecepatannya tergolong lumayan.

Dengan ada paket Wifi di rumah dan juga paket internet di gawai, saya alhamdulillah terbebas dari "kiamat" dan konsisten ber-Kompasiana.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun