Kalimat anakmu masih belum selesai, aku lanjutkan ya: "He's been fighting this virus for 21 days...ga pernah ngeluh knp ayah yang kena? Cuma selalu bilang ayah lagi berusaha berdamai dengan diri sendiri, berusaha ikhlas, Insya Allah semangat. But this morning he text me and said he couldn't take it anymore...then I vidcall him and he was just staring at me with tears in his eyes. Ya Allah tolong jaga Ayah".
Tanpa kusadari mataku basah membaca kalimat anakmu itu. Aku juga seorang ayah dari tiga anak, tapi rasanya anak-anakku tidak akan berpendapat seperti tulisan anakmu itu. Aku belum bisa jadi super loving father.
Aku tidak begitu mengenal keluargamu. Tapi, julukanmu sebagai Super Loving Father, menurut aku memang begitulah adanya.
Terbayang lagi tawa candamu ketika kita masih satu tim kerja. Kamu kadang-kadang memaksakan diri berbahasa Minang kalau berbicara denganku. Padahal kamu orang Jogja yang sangat njawani, tapi istrimu berasal dari Bukittinggi.
Sesekali aku membawa rendang buatan istriku ke kantor dan semua teman-teman suka, tapi kamu yang dari ekspresi wajah terlihat paling menikmati.
Di tim kita itu unik. Yang suka protes dan ngomong keras justru yang ibu-ibu, terutama Bu D yang sering emosian, dan yang kalem justru kita berdua.Â
Kita sering salat bareng, kamu yang lebih senior jadi imam, lalu aku jadi makmum. Di belakang aku ada Bu H, Bu I dan Bu E yang sedikit berdesakan karena ruang yang sempit. Adapun Bu D seorang kristiani yang taat, paling tidak itu kesanku dari pembicaraannya.
Selamat jalan teman baikku, BR. Nilai-nilai yang kamu wariskan, baik dalam konteks pekerjaan, maupun dalam konteks pergaulan pribadi, akan aku jadikan contoh. Berbahagialah di keabadian.
Jakarta, 20 Juli 2021, ditulis khusus untuk mengenang Mas BR.Â
.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H