Korban dan kurban adalah dua hal yang berbeda, tapi sebetulnya masih "bersaudara". Istilah kurban biasanya mengemuka pada Hari Raya Idul Adha, yang sering juga disebut Hari Raya Haji atau Hari Raya Kurban.
Kenapa dinamakan seperti itu, tentu karena pada hari raya tersebut, di tanah suci lagi berlangsung pelaksanaan ibadah haji. Selain itu, di berbagai penjuru dunia yang dihuni umat Islam, bagi yang mampu, akan menyembelih hewan kurban.
Hewan kurban, yang di negara kita kebanyakan berupa kambing dan sapi, akan dibagikan kepada warga yang kurang beruntung secara ekonomi.Â
Pada saat itulah, mereka yang selama ini jarang menikmati makanan yang diolah dari daging, akan bersukacita, sejenak bisa melupakan penderitaan hidupnya.
Adapun istilah "korban", relatif sering kita dengar, apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda negara kita. Hingga tulisan ini ditulis, sudah 74.920 orang yang berkorban nyawa.
Sedangkan korban yang terpapar virus tercatat 2,91 juta kasus, meskipun 2,29 juta di antaranya sudah dinyatakan sembuh.
Jangan mengira, masyarakat yang tidak terpapar, tidak menjadi korban. Bukankah banyak yang berkorban secara ekonomi karena kehilangan mata pencaharian atau menurunnya penghasilan?
Berita bagusnya, sejak pandemi, banyak terlihat gerakan spontan angota masyarakat untuk mengumpulkan donasi dan memberikannya pada warga yang membutuhkan.
Di samping itu, sebelum ada pandemi pun, sudah banyak pula berdiri yayasan atau lembaga yang bergerak di bidang sosial. Dalam konteks ajaran agama Islam, yang dimaksud adalah Badan Amil Zakat atau sejenis itu.
Saya pernah beradu argumen dengan seorang teman yang kebetulan menjadi pengurus sebuah yayasan yang mengumpulkan zakat, infak, dan sedekah, serta mendistribusikannya kepada yang berhak.
Bahwa yayasan tersebut punya tugas yang mulia, dan otomatis tugas teman itu juga mulia, jelas sesuatu yang tak perlu diperdebatkan.