Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ingin Bos yang Baik atau Bos yang Mendidik?

12 Juli 2021   09:17 Diperbarui: 12 Juli 2021   09:45 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan atau sebuah instansi, tentu banyak suka dukanya. Pergaulan dengan bos dan juga dengan teman kerja, menjadi salah satu faktor penentu, akan banyak sukanya atau dukanya.

Mendapat bos yang baik, ibarat mendapat durian runtuh. Karyawan akan bekerja dengan hati senang, tidak merasa tertekan. Bahkan, tanpa terasa, karena asyik di kantor, tahu-tahu sudah menedekati jam pulang kantor, atau tahu-tahu sudah mau akhir pekan.

Bos yang baik identik dengan tidak jaim, mau ngobrol santai dan tertawa bersama anak buah, sering mentraktir, tidak pernah marah, dan gampang memberikan nilai tinggi pada penilaian kinerja individu karyawan.

Bos yang baik juga hafal nama semua anak buahnya dan setiap ngobrol, nama-nama itu disebut dengan jelas di awal kalimat. Itupun ditambah dengan sapaan mas, mbak, pak, bu, dan sebagainya, tergantung usia anak buahnya.

Bayangkan, jika yang menjadi anak buah si bos berjumlah 70-80 orang, dari staf senior, sampai satpam dan office boy, tidak gampang juga menghafalkan semua namanya.

Berbeda dengan bos yang sombong, yang memang akrab dengan beberapa staf inti saja. Lalu, kepada yang lain, ia sering memanggil anak buahnya dengan panggilan kau, kamu, you, tanpa disebut nama si anak buah yang diajak bicara.

Bos yang baik juga memberi perhatian secara pribadi. Jika ada anak buahnya yang dirawat di rumah sakit, si bos akan datang membesuk. 

Begitu juga bila orang tua karyawannya, meski hanya seorang karyawan rendah, katakanlah seorang office boy, yang meninggal dunia. Si bos tidak sungkan melayat ke rumah duka di gang sempit, menyalami dan memberikan uang duka ke anak buahnya.

Jika anak buahnya menikah, atau  anak buahnya punya hajatan menikahkan anaknya, si bos juga hadir, bahkan mau jadi saksi pada acara akad nikah.

Tapi, ingatlah, tak ada orang yang sempurna, meskipun sudah jadi bos. Justru karena si bos terlalu baik, anak buah bisa ngelunjak. Karena tak bisa tegas memarahi, perilaku salah anak buah sulit untuk bisa dikoreksi.

Bos yang baik membuat semua orang happy. Tapi, di mata segelintir karyawan yang kritis, si bos yang terlalu baik akan dianggap lembek.

Akibatnya, bos hanya mendiamkan anak buahnya yang berkinerja buruk, tanpa memberi peringatan. 

Di lain pihak, karyawan yang pekerjaannya bagus, akan jadi langganan bos untuk diminta melakukan pekerjaan yang relatif berat.

Jelaslah, ada unsur ketidakadilan dari cara si bos membagi pekerjaan. Tapi, bagi karyawan yang ketiban banyak pekerjaan, kalau melihatnya sebagai peluang untuk maju, ia akan senang melakukannya.

Toh, manfaatnya untuk ia juga. Kompetensinya akan cepat meningkat dan promosi jabatan pun akan diraihnya lebih cepat ketimbang teman-temannya.

Namun, bila ia merasa jadi korban ketidakadilan, ia akan ngedumel. Ketika harus bekerja di waktu lembur, ia akan merasa tertekan. Lama-lama ia bisa merasa sakit.

Sebetulnya, bos yang ideal dalam konteks pengembangan karier karyawan adalah bos yang mendidik. Artinya, si bos dengan sepenuh hati mentransfer ilmu dan pengalamannya ke semua anak buah.

Tentu, si bos akan melihat kapasitas si anak buah juga. Ilmu yang diturunkan kepada staf senior dan kepada seorang pelaksana administrasi, jelas berbeda kedalamannya.

Anak buah yang di mata si bos punya potensi, tapi malas, menjadi tugas si bos untuk memberinya motivasi. Anak buah yang masih melakukan kesalahan setelah diberi peringatan, perlu ditegur dengan sedikit keras.

Bukankah semua teguran itu diniatkannya untuk mendidik. Bisa jadi saat ditegur, anak buah akan kesal. Tapi, yakinlah, nanti ia akan menyadari, teguran si bos itu untuk kepentingan karir si anak buah itu sendiri.

Memang, di antara semua karyawan yang dibawahinya, akan ada segelintir yang menonjol yang dipersiapkan sebagai penggantinya kelak.

Jangan sampai ketika si bos dipindahkan ke unit kerja lain, penggantinya diambil dari luar. Ini artinya, si bos gagal melakukan kaderisasi pemimpin.

Lalu, menjawab pertanyaan pada judul tulisan "Ingin Bos yang Baik atau Bos yang Mendidik", demi karier jangka panjang, bagusnya yang mendidik.

Masalahnya, anak buah tidak dalam posisi bisa memilih siapa bosnya. Bisa jadi malah tidak mendapat bos yang mendidik, bukan pula bos yang baik.

Betapa kesalnya anak buah jika mendapat bos yang sedikit-sedikit marah atau bos yang petentang petenteng saja. Tapi, tetap harus dijalani dengan baik.

Jika tidak dipimpin oleh bos yang mendidik, jika ingin maju, ya harus belajar sendiri. Ambil sisi kebaikan dari seorang bos dan buang sisi keburukannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun