Saya tidak ingat kapan persisnya, tapi pada suatu hari di tahun 1988, wajah Menteri Penerangan Harmoko pernah muncul dalam karikatur Harian Kompas, karya karikaturis senior, GM Sudarta.
Harmoko digambarkan sambil menangis terisak mengucapkan "Stop Lagu Cengeng". Saya tertawa melihat gambar itu, dan memang salah satu ciri khas karikatur adalah aspek kelucuannya, di samping nilai kritik sosialnya.
Begitu saya mencari referensi dengan berselancar di dunia maya, ternyata saya tidak menemukan informasi apa-apa tentang karikatur tersebut.
Tapi, saya berhasil menemukan foto yang juga saya pasang di bagian bawah tulisan ini, berisi judul headline Harian Kompas, Kamis (25/8/1988). Judul headline tersebut adalah: "Menpen Harmoko: Stop Lagu Cengeng di TVRI".
Ingat, ketika itu TVRI masih menjadi stasiun televisi satu-satunya di Indonesia, karena RCTI yang menjadi stasiun televisi swasta pertama, baru lahir pada tahun 1989.
Sebagai Menteri Penerangan, TVRI berada di bawah kendali Harmoko. Jadi, bisa dibayangkan, tentu TVRI tak mungkin membangkang.
Padahal, ketika itu, lagi "Hati yang Luka" ciptaan Obbie Messakh dan dinyanyikan oleh Betharia Sonata, sangat disukai masyarakat. Di mana-mana terdengar lagu tersebut mengalun dari radio atau tape recoder, termasuk juga di layar kaca.
Memangnya seberapa cengeng sih lagu itu? Mari kita simak lirik "Hati yang Luka" berikut ini.
Berulang kali aku mencoba selalu untuk mengalah
Demi keutuhan kita berdua walau kadang sakit
Lihatah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu
Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu
Samakah aku bagai burung di sana yang dijual orang
Hingga sesukamu kau lakukan itu, kau sakiti aku
Kalaulah memang kita berpisah, itu bukan suratan
Mungkin ini lebih baik agar kau puas membagi cinta
Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku
Dulu segenggam emas kau pinang aku
Dulu bersumpah janji di depan saksi
Namun semua hilanglah sudah ditelan dusta
Namun semua tinggal cerita hati yang luka
Betulkah lirik tersebut cengeng? Cengeng atau tidak, tentu tergantung penafsiran si pendengar lagu itu. Artinya, ini berbau subjektif.
Sebetulnya, lagu tersebut berkisah tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dan sampai sekarang, kisah sejenis, faktanya masih saja terjadi.
Tapi, jika ada yang menilai lirik lagu tersebut berlebihan atau lebay menurut remaja sekarang, sah-sah saja. Harmoko menilai lagu tersebut bisa menghambat laju pembangunan nasional karena menurunkan semangat kerja masyarakat.
Saya sendiri, bisa menikmati lagu "Hati yang Luka" sambil tetap bekerja, karena saya tidak terbuai dengan lirik dan suara nyanyian yang meratap-ratap seperti itu.
Menurut saya, ini masalah tren musik saja. Pada dekade 1970-an, lagu pop Indonesia dikuasai oleh grup band cowok, seperti Koes Plus, Bimbo, The Mercy's, Panbers, D'Lloyd, Favorite's Group, dan The Rollies.Â
Nah, pada dekade setelah itu, giliran penyanyi-penyanyi solo cewek yang menjadi tren dan menguasai blantika musik tanah air.
Dan satu nama yang sangat berpengaruh di balik tren baru itu, adalah salah satu personil The Mercy's, Rinto Harahap. Obbie Messakh dan Pance Pondaag menjadi pengikut aliran Rinto.
Rinto bisa dinilai sebagai pelopor lagu-lagu sendu (lebih pas disebut sendu ketimbang cengeng) yang diciptakannya dan dibawakan sejumlah penyanyi wanita cantik orbitannya.
Ada juga penyanyi cowok yang dipercaya Rinto membawakan lagu-lagu ciptaannya, yakni Eddy Silitonga. Namun, citra Rinto setelah The Mercys  bubar identik dengan lagu sendu dan wanita cantik.
Kalau saja sekarang lagu-lagu cengeng kembali berjaya, rasanya tidak bakal ada pejabat yang melarang seperti Harmoko. Atmosfer politik sudah berbeda setelah Orde Baru tumbang.
Itulah sekelumit catatan yang saya ingat tentang Harmoko, setelah berita berpulangnya beliau ke alam baka, Minggu (4/7/2021) yang lalu banyak diberitakan media massa.
Terlepas dari kontroversi pelarangan lagu cengeng, menurut saya, Harmoko adalah sosok yang banyak berjasa, terutama di bidang komunikasi dan informasi.Â
Makanya, wajar bila jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H